Ideologi transformatif, Spirit Sosiologi Islam
Iji Jaelani, Program Studi
Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: ijijaelani14@gmail.com
Abstrak
Sosiologi Islam
karya Agus Agmad Syafei merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah
banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Berbeda dengan
sosiologi modern, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali dari
spirit saintifik dan spirit profetik ke-Islaman. Sosiologi Islam ini memiliki
muatan ideologi transformasi, yakni egalitarianisme sesama manusia, termasuk
kepedulian sosial, dan akuntabilitas sosial.
Sebagai basis
kesadaran antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran
ontologis, historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan
mengundang rahmat Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap
lingkungan sosial melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah
mengajak kebaikan, mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan,
mengharamkan keburukan, mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang
memberangkus sisi kemanusiaan.
Kata
kunci: ideologi transformatif, sosiologi islam
Pembahasan
A.
Sosiologi
Islam Jawaban atas Kebuntuan Sosiologi Modern
Sosiologi Islam karya
Agus Agmad Syafei ini merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah
banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Pertama, di tengah derasnya arus
positivisme pengetahuan, segala pengetahuan ilmiah secara teoritik harus netral
dan bebas nilai. Postulat ini digunakan sebagai antisipasi atas berbagai
kepentingan yang masuk ke dalam sains untuk melegitimasi kepentingannya,
termasuk kepentingan agama. Alih alih sebagai penjaga netralitas, justeru sains
semakin menjauhkan diri dari nilai nilai spiritual yang bertugas memberikan
spirit bagi perubahan sosial sehingga pesan-pesan yang ada di dalam sains
menjadi kering dan sekuler. Dalam prakteknya, sains justeru digunakan untuk
melegitimasi suatu kelompok masyarakat, bahkan suatu ideologi tertentu, baik
kapitalisme maupun sosialisme.
Kedua, sebagai dampak dari diterapkannya
postivisme pengetahuan, patokan sosial
kemasyarakatan adalah manusia (antropologis), dan ekosistemnya
(sosiologis), atau dalam bahasa lain adalah the man is the measure of all
things, yakni manusia adalah ukuran segala-galanya. Dengan dasar demikian,
nilai-nilai ketuhanan dan agama, akan dipakai jika memiliki nilai fungsi, dan
akan ditinggalkan manakala tidak bisa digunakan oleh masyarakat. Atas dasar
inilah sosiologi telah menjadi “agama baru” bagi masyarakat. Teknologi,
persaingan, dan pengetahuan yang cepat berubah akan memaksa manusia untuk
beradaptasi dengan hal baru. Sandaran hidup manusia yang didasarkan pada sains
modern, termasuk sosiologi, akan menyebabkan manusia resah, hampa, dan
kekeringan dari nilai-nilai trasenden.
Berbeda dengan
sosiologi modern di atas, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali
dari spirit saintifik dan spirit prefetik ke-Islaman. Menurut Haidar Bagir,
sosiologi Islam lahir karena 3 kegelisahan yang tidak terjawab oleh sains
modern. Pertama, masyarakat
Islam membutuhkan sains yang mampu
menjawab kebutuhan manusia, yakni material dan spiritual. Kedua, secara sosiologis umat islam tinggal di wilayah geografis
dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari Barat. Ketiga, masyarakat Islam pernah memiliki peradaban islam ketika
sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan masyarakat Islam.[1]
B.
Ideologi
Transfomasi sebagai Spirit Sosiologi Islam
Menurut Agus Ahmad
Syafei, sebagai sebuah ideologi[2]
sosial, Islam memiliki visi besar, yaitu mengubah masyarakat sesuai dengan
cita-cita Islam.[3]
Cita-cita besar Islam adalah egalitarianisme sesama manusia, termasuk kepedulian
sosial, dan akuntabilitas sosial. Tanpa implikasi sosial, ritus Islam dipandang
sebagai kesia-siaan belaka. Ideologi seperti ini ia namai ideologi
transformatif.
Sebagai basis kesadaran
antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran ontologis,
historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan mengundang rahmat
Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sosial
melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah mengajak kebaikan,
mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan, mengharamkan keburukan,
mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang memberangkus sisi
kemanusiaan.
Relevansi
egalitarianisme dan ke-Islaman, menurut Agus, bertemu dalam teologi profetik,
yakni transformasi dengan basis pandangan tauhid. Tauhid sendiri merupakan
penegasan komitmen untuk menyembah Allah dan tidak menyembah selain diri-Nya.
Upaya penegasan ini termasuk di dalamnya tidak memuja dan memutlakkan makhluk,
seperti kehormatan, kekayaan, jabatan, dan kehidupan.
Begitu juga hubungan
sesama makhluk, teologi ini memosisikan manusia sama posisinya di hadapan Tuhan
tanpa mengenal agama, suku, jabatan, status sosial, kekayaan, dan simbol simbol
kefanaan lainnya. Melalui sikap egaliter ini, tauhid berupaya untuk
mengimplementasikan keyakinan agama sebagai spirit untuk melakukan transformasi
kepada hal hal yang lebih konkrit, baik transformasi intelektual, sosial,
maupun kultural.
Pandangan
di atas senada dengan Razlur Rahman, tanpa keinginan dan aksi untuk
menyejahterakan dan memberdayakan orang-orang miskin dan papa, shalat sekalipun
berubah menjadi semacam perbuatan kemunafikan.[4] Dalam
pandangan penulis, ideologi transformasi ini memiliki muatan nilai yang sama
dengan pandangan Islam sebagai teologi pembebasan yang pertama kali
diperkenalkan oleh Ali Ashgar Engineer dengan penekanan tiga nilai mendasar,
yakni egalitarianisme, keadilan sosial, dan kebersamaan.[5]
Ideologi transformasi
ini juga senada dengan Ali Syariati yang menekankan tauhid sosial sebagai
mankifestasi dari teologi pembebasan dalam Islam. Maka, konteks sosial yang
diperjuangkan ali Syariati sebagai spiritualitas teologi pembebasan adalah pembebasan
dan pencerahan. Orang yang tercerahkan, dalam pandangan Syariati adalah mereka
yang peduli terhadap kondisi sosialnya, siap berjuang dan memberdayakan
masyarakat, atau dalam bahasa lain disebut sebagai nabi-nabi sosial (rushan feqr).
Simpulan
Sosiologi Islam karya
Agus Agmad Syafei merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah
banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Pertama, di tengah
derasnya arus positivisme pengetahuan, segala pengetahuan ilmiah secara
teoritik harus netral dan bebas nilai. Kedua, sebagai dampak dari diterapkannya
postivisme pengetahuan, patokan sosial
kemasyarakatan adalah manusia (antropologis), dan ekosistemnya
(sosiologis), atau dalam bahasa lain adalah the man is the measure of all
things, yakni manusia adalah ukuran segala-galanya. Berbeda dengan sosiologi
modern di atas, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali dari spirit
saintifik dan spirit prefetik ke-Islaman.
Sebagai sebuah ideologi
transformatif, Islam memiliki visi besar, yakni egalitarianisme sesama manusia,
termasuk kepedulian sosial, dan akuntabilitas sosial. Sebagai basis kesadaran
antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran ontologis,
historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan mengundang rahmat
Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sosial
melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah mengajak kebaikan,
mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan, mengharamkan keburukan,
mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang memberangkus sisi
kemanusiaan.
Referensi
Jati, Warsito Raharjo. Agama dan Politik: Teologi Pembebasan
sebagai Arena Profetisasi Agama, Jurnal Walisongo, Volume 22 No. 1, Mei
2014.
Muttaqin, Ahmad. 2012. Agama dalam Representasi Ideologi Media,
Junal Komunika, Volume 6 No 2, Juli-Desember 2012.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al Qur’an. Bandung: Pustaka.
Syafei, Agus Ahmad. 2017. Sosiologi Islam; Transformasi Sosial
Berbasis Tauhid. Bandung: Simbiosa Rakatama Media.
Syari’ati, Ali. 1995. Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Terj.
M. Nasrullah dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan.
[1] Agus Ahmad Syafei, Sosiologi Islam; Transformasi Sosial
Berbasis Tauhid, Bandung: Simbiosa Rakatama Media, 2017, hlm. viii
[2] Ideologi dan
agama apapun niscaya memiliki pandangan dunia (weltanschauung, worldview).
Dalam pengertian positif, ideologi diposisikan sebagai
pandangan dunia (world
view) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu
untuk membela dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka.
Sedang dalam penegrtian negatif,
ideologi dimaknai sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu kebutuhan untuk melakukan
penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai
realitas sosial. Penulis memaknai ideologi
dalam kategori pertama. Penjelasan lebih lanjut bisa buka Ahmad
Muttaqin, “Agama dalam Representasi
Ideologi Media”, Junal Komunika, Volume 6 No 2, Juli-Desember 2012
[3] Agus Ahmad Syafei, Op.Cit, hlm. 67
[4] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al Qur’an, Bandung, Pustaka,
1983, hlm. 57
[5] Warsito Raharjo Jati, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan
sebagai Arena Profetisasi Agama, dalam Jurnal Walisongo, Volume 22 No. 1,
Mei 2014, hlm. 133
0 komentar:
Posting Komentar