Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Ideologi transformatif, Spirit Sosiologi Islam (Resensi Buku Sosiologi Islam Agus Ahmad Syafei)

Ideologi transformatif, Spirit Sosiologi Islam (Resensi Buku Sosiologi Islam Agus Ahmad Syafei)

Written By Iji Jaelani on Selasa, 30 Mei 2017 | 08.08

Ideologi transformatif, Spirit Sosiologi Islam


Iji Jaelani, Program Studi Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: ijijaelani14@gmail.com


 
ideologi transpormatif, sosiologi islam
Sosiologi Islam


Abstrak

Sosiologi Islam karya Agus Agmad Syafei merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Berbeda dengan sosiologi modern, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali dari spirit saintifik dan spirit profetik ke-Islaman. Sosiologi Islam ini memiliki muatan ideologi transformasi, yakni egalitarianisme sesama manusia, termasuk kepedulian sosial, dan akuntabilitas sosial.
Sebagai basis kesadaran antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran ontologis, historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan mengundang rahmat Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sosial melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah mengajak kebaikan, mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan, mengharamkan keburukan, mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang memberangkus sisi kemanusiaan.

Kata kunci: ideologi transformatif, sosiologi islam

Pembahasan

A.    Sosiologi Islam Jawaban atas Kebuntuan Sosiologi Modern

Sosiologi Islam karya Agus Agmad Syafei ini merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Pertama, di tengah derasnya arus positivisme pengetahuan, segala pengetahuan ilmiah secara teoritik harus netral dan bebas nilai. Postulat ini digunakan sebagai antisipasi atas berbagai kepentingan yang masuk ke dalam sains untuk melegitimasi kepentingannya, termasuk kepentingan agama. Alih alih sebagai penjaga netralitas, justeru sains semakin menjauhkan diri dari nilai nilai spiritual yang bertugas memberikan spirit bagi perubahan sosial sehingga pesan-pesan yang ada di dalam sains menjadi kering dan sekuler. Dalam prakteknya, sains justeru digunakan untuk melegitimasi suatu kelompok masyarakat, bahkan suatu ideologi tertentu, baik kapitalisme maupun sosialisme.
            Kedua, sebagai dampak dari diterapkannya postivisme pengetahuan, patokan sosial  kemasyarakatan adalah manusia (antropologis), dan ekosistemnya (sosiologis), atau dalam bahasa lain adalah the man is the measure of all things, yakni manusia adalah ukuran segala-galanya. Dengan dasar demikian, nilai-nilai ketuhanan dan agama, akan dipakai jika memiliki nilai fungsi, dan akan ditinggalkan manakala tidak bisa digunakan oleh masyarakat. Atas dasar inilah sosiologi telah menjadi “agama baru” bagi masyarakat. Teknologi, persaingan, dan pengetahuan yang cepat berubah akan memaksa manusia untuk beradaptasi dengan hal baru. Sandaran hidup manusia yang didasarkan pada sains modern, termasuk sosiologi, akan menyebabkan manusia resah, hampa, dan kekeringan dari nilai-nilai trasenden.
Berbeda dengan sosiologi modern di atas, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali dari spirit saintifik dan spirit prefetik ke-Islaman. Menurut Haidar Bagir, sosiologi Islam lahir karena 3 kegelisahan yang tidak terjawab oleh sains modern. Pertama, masyarakat Islam  membutuhkan sains yang mampu menjawab kebutuhan manusia, yakni material dan spiritual. Kedua, secara sosiologis umat islam tinggal di wilayah geografis dan memiliki kebudayaan yang berbeda dari Barat. Ketiga, masyarakat Islam pernah memiliki peradaban islam ketika sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan masyarakat Islam.[1]

B.     Ideologi Transfomasi sebagai Spirit Sosiologi Islam

Menurut Agus Ahmad Syafei, sebagai sebuah ideologi[2] sosial, Islam memiliki visi besar, yaitu mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam.[3] Cita-cita besar Islam adalah egalitarianisme sesama manusia, termasuk kepedulian sosial, dan akuntabilitas sosial. Tanpa implikasi sosial, ritus Islam dipandang sebagai kesia-siaan belaka. Ideologi seperti ini ia namai ideologi transformatif.
Sebagai basis kesadaran antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran ontologis, historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan mengundang rahmat Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sosial melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah mengajak kebaikan, mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan, mengharamkan keburukan, mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang memberangkus sisi kemanusiaan.
Relevansi egalitarianisme dan ke-Islaman, menurut Agus, bertemu dalam teologi profetik, yakni transformasi dengan basis pandangan tauhid. Tauhid sendiri merupakan penegasan komitmen untuk menyembah Allah dan tidak menyembah selain diri-Nya. Upaya penegasan ini termasuk di dalamnya tidak memuja dan memutlakkan makhluk, seperti kehormatan, kekayaan, jabatan, dan kehidupan.
Begitu juga hubungan sesama makhluk, teologi ini memosisikan manusia sama posisinya di hadapan Tuhan tanpa mengenal agama, suku, jabatan, status sosial, kekayaan, dan simbol simbol kefanaan lainnya. Melalui sikap egaliter ini, tauhid berupaya untuk mengimplementasikan keyakinan agama sebagai spirit untuk melakukan transformasi kepada hal hal yang lebih konkrit, baik transformasi intelektual, sosial, maupun kultural.
            Pandangan di atas senada dengan Razlur Rahman, tanpa keinginan dan aksi untuk menyejahterakan dan memberdayakan orang-orang miskin dan papa, shalat sekalipun berubah menjadi semacam perbuatan kemunafikan.[4] Dalam pandangan penulis, ideologi transformasi ini memiliki muatan nilai yang sama dengan pandangan Islam sebagai teologi pembebasan yang pertama kali diperkenalkan oleh Ali Ashgar Engineer dengan penekanan tiga nilai mendasar, yakni egalitarianisme, keadilan sosial, dan kebersamaan.[5]
Ideologi transformasi ini juga senada dengan Ali Syariati yang menekankan tauhid sosial sebagai mankifestasi dari teologi pembebasan dalam Islam. Maka, konteks sosial yang diperjuangkan ali Syariati sebagai spiritualitas teologi pembebasan adalah pembebasan dan pencerahan. Orang yang tercerahkan, dalam pandangan Syariati adalah mereka yang peduli terhadap kondisi sosialnya, siap berjuang dan memberdayakan masyarakat, atau dalam bahasa lain disebut sebagai nabi-nabi sosial (rushan feqr).

Simpulan

Sosiologi Islam karya Agus Agmad Syafei merupakan terobosan rumusan pembacaan sosial di tengah banyaknya sosiologi yang menegasikan nilai-nilai ketuhanan. Pertama, di tengah derasnya arus positivisme pengetahuan, segala pengetahuan ilmiah secara teoritik harus netral dan bebas nilai. Kedua, sebagai dampak dari diterapkannya postivisme pengetahuan, patokan sosial  kemasyarakatan adalah manusia (antropologis), dan ekosistemnya (sosiologis), atau dalam bahasa lain adalah the man is the measure of all things, yakni manusia adalah ukuran segala-galanya. Berbeda dengan sosiologi modern di atas, sosiologi Islam karya Agus Ahmad Syafei ini digali dari spirit saintifik dan spirit prefetik ke-Islaman.
Sebagai sebuah ideologi transformatif, Islam memiliki visi besar, yakni egalitarianisme sesama manusia, termasuk kepedulian sosial, dan akuntabilitas sosial. Sebagai basis kesadaran antropologis, Islam menekankan tiga kesadaran, yakni kesadaran ontologis, historis, dan aksiologis. Ketiga kesadaran itulah yang akan mengundang rahmat Tuhan, sumber kesadaran pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sosial melalui pemberdayaan. Adapun point inti pemberdayaan adalah mengajak kebaikan, mencegak perbuatan mungkar, menghalalkan kebaikan, mengharamkan keburukan, mengatasi himpitan hidup, dan melepaskan belenggu yang memberangkus sisi kemanusiaan.

Referensi
Jati, Warsito Raharjo. Agama dan Politik: Teologi Pembebasan sebagai Arena Profetisasi Agama, Jurnal Walisongo, Volume 22 No. 1, Mei 2014.
Muttaqin, Ahmad. 2012. Agama dalam Representasi Ideologi Media, Junal Komunika, Volume 6 No 2, Juli-Desember 2012.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok Al Qur’an. Bandung: Pustaka.
Syafei, Agus Ahmad. 2017. Sosiologi Islam; Transformasi Sosial Berbasis Tauhid. Bandung: Simbiosa Rakatama Media.
Syari’ati, Ali. 1995. Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Terj. M. Nasrullah dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan.






[1] Agus Ahmad Syafei, Sosiologi Islam; Transformasi Sosial Berbasis Tauhid, Bandung: Simbiosa Rakatama Media, 2017, hlm. viii
[2] Ideologi dan agama apapun niscaya memiliki pandangan dunia (weltanschauung, worldview). Dalam pengertian positif, ideologi diposisikan sebagai pandangan dunia (world view) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedang dalam penegrtian negatif, ideologi dimaknai sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Penulis memaknai ideologi dalam kategori pertama. Penjelasan lebih lanjut bisa buka Ahmad Muttaqin, “Agama dalam Representasi Ideologi Media”, Junal Komunika, Volume 6 No 2, Juli-Desember 2012
[3] Agus Ahmad Syafei, Op.Cit, hlm. 67
[4] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al Qur’an, Bandung, Pustaka, 1983, hlm. 57
[5] Warsito Raharjo Jati, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan sebagai Arena Profetisasi Agama, dalam Jurnal Walisongo, Volume 22 No. 1, Mei 2014, hlm. 133

0 komentar:

Posting Komentar