Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Relasi Dialektis Agama dan Media

Relasi Dialektis Agama dan Media

Written By Iji Jaelani on Selasa, 30 Mei 2017 | 07.51

Relasi Dialektis Agama dan Media (Studi Komparatif Kompas dan Republika)


Iji Jaelani, Program Studi Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: ijijaelani14@gmail.com



hubungan agama dan media
ilustrasi agama dan media


Abstrak

Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang yang dianut suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan kebenaran. Sebagai sebuah konsekuensi agama sebagai pedoman bagi manusia, kebenaran nilai nilai ajaran agama juga perlu disebarkan kepada manusia dan masyarakat. Pada konteks ini, komunikasi media memegang peranan penting sebagai transmisi ajaran kebenaran. Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan esensi keagamaan kepada masyarakat secara objektif dan empiris seringkali muncul dalam bentuk kecenderungan ideologis. Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media dipengaruhi oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap suatu individu yang terlibat dalam suatu media massa. Keterikatan agama, masyarakat, dan media menjadi suatu gejala yang probability, bisa benar dan tidak. Relasi antara agama dan media sebagai entitas yang tak terpisahkan dalam studi keagamaan merupakan kajian yang penting untuk dilakukan, dengan cara melakukan analisa secara kritis atas unsur unsur di dalamnya, berupa realitas objektif dan realitas subjektif.

Kata Kunci: agama, media, ideologi, masyarakat

A.   Pendahuluan

Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang yang dianut suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan kebenaran.[1] Sebagai sebuah panduan kebenaran, agama berbicara tentang esensi Tuhan yang metafisik. Akan tetapi sebagai pedoman kehidupan, agama pun menyangkut pedoman tindakan normatif sebagai manusia dalam hidup dan kehidupannya di masyarakat.
Sebagai sebuah konsekuensi agama sebagai pedoman bagi manusia, agama langsung atau tidak langsung juga mengkaji tentang manusia itu sendiri, baik secara individu atau pun relasi antar individu (sosial).[2] Karena itulah, untuk menerapkan agama secara utuh juga memerlukan pemahaman kemanusiaan secara utuh, seperti antropologi, sosiologi, filsafat, politik, etika, dan budaya. Tanpa pemahaman mengenai kemanusiaan secara utuh dengan segala karakter dan kepentingan yang ada di dalamnya, ajaran kebenaran yang normatif ini akan terjebak pada pemahaman parsial, kesalahfahaman, bahkan konflik kepentingan dengan manusia lain yang berbeda pemahaman, karakter, dan kepentingan.
Pada konteks ini, komunikasi media memegang peranan penting sebagai transmisi ajaran kebenaran. Media kemudian menjadi sarana untuk menyebarkan gagasan gagasan ketuhanan, nilai-nilai keagamaan, termasuk di dalamnya menjadi saluran pemecahan masalah di antara konflik keagamaan. Bahkan, melakukan dakwah keagamaan merupakan salah satu misi suci yang sakral dan ideologis. Hal ini sesuai dengan paparan Bryan S Turner (2014), teori teori sosiologi yang sudah berkembang sangat pesat di ranah kajian agama, salah satu yang banyak dilakukan adalah mengenai agama dan media sebagai sarana bagi terbukanya ruang publik untuk wacana keagamaan yang demokratis.[3]
Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan esensi keagamaan kepada masyarakat secara objektif dan empiris seringkali muncul dalam bentuk kecenderungan. Realitas pristiwa keagamaan yang sesungguhnya bersifat tunggal dan objektif kemudian terinformasikan kepada masyarakat dalam beberapa versi yang berbeda. Bahkan, pada tahap berikutnya tidak sedikit muncul kontroversi. Perbedaan penyampaian ajaran dan spirit keagamaan tidak semata mata karena teknik jurnalistik yang baku, melainkan sebagai akibat dari cara pandang terhadap fakta dan pemberi informasi yang berbeda.
Proses misi informasi yang mengaburkan realitas dan esensi keagamaan ini dipengaruhi oleh paling tidak oleh 5 unsur komunikasi di dalamnya. Kelima unsur komunikasi tersebut, menurut Harold D Laswell terdiri dari siapa mengemukakan apa, melalui media apa, kepada siapa melaksanakan hubungan, dan bagaimana efek dari komunikasi tersebut.[4] Di antara kelima unsur tersebut, misinformasi yang paling sering terjadi dan berpengaruh besar adalah media yang tidak berimbang. Sebagai sebuah kesalahan teknik jurnalistik, kesalahfahaman ini bersifat teknis dan temporal. Akan tetapi, dalam industri media sekarang ini, justeru pemberitaan tidak hanya melibatkan teknis jurnalistik yang netral, melainkan lebih kepada sistem dan cara pandang yang ideologis penuh kepentingan.
Dalam era industrialisasi seperti sekarang ini, tidak sedikit media yang turut menjadi media untuk mendulang kapital. Benar dan salah dalam realitas agama dipotret menjadi baik dan buruk dalam perspektif media. Cara pandang seperti ini di satu sisi mengaburkan realitas keagamaan yang objektif, di sisi lain juga media memosisikan dirinya sebagai patron informasi dan masyarakat diposisikan sebagai klien media, sesuai dengan segmentasi pasar. Dalam perspektif komunikasi  kritis,  media massa hanya melayani kelas sosial  tertentu sehingga keberpihakkan ideologis menjadi hal yang tidak mungkin dihindarkan.
Sebagai suatu sistem, segmentasi pembaca pun tidak hanya diposisikan sebagai pangsa pasar secara teknis, melainkan sebagai objek perluasan ideologis.[5] Dalam banyak hal, eksistensi pasar pun merupakan perluasan dari ideologi media yang bersangkutan. Keterlibatan ideologis antara media dengan komunikan menjadi saluran informasi yang jauh lebih massif ketimbang instrumen informasi yang bersifat teknis dan normatif.
Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media dipengaruhi oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap suatu individu yang terlibat dalam suatu media massa. Kecenderungan seperti ini kemudian disebut ideologi media massa. Ideologi media diformulasikan secara abstrak memalui berita; terdiri dari beberapa unsur seperti kata, kalimat, frasa, dan struktur kebahasaan lainnya. Dengan ideologi yang berbeda, berita di beberapa media tentang suatu peristiwa keagamaan akan ditulis dengan kecenderungan yang berbeda sesuai dengan ideologi yang melingkupinya.
Keterikatan agama, masyarakat, dan media menjadi suatu gejala yang probability.Ketiganya bisa menjadi benar ketika unsur unsurnya objektif dalam melakukan transmisi informasi dan gagasan keagamaan yang sakral dan universal. Akan tetapi di sisi lain, media menjadi mesin informasi yang akan melakukan penyimpangan informasi sesuai kecenderungan yang terkandung di dalamnya.
Relasi antara agama dan media sebagai entitas yang tak terpisahkan dalam studi keagamaan merupakan kajian yang penting untuk dilakukan, dengan cara melakukan analisa secara kritis atas unsur unsur di dalamnya, berupa realitas objektif dan realitas subjektif. Pemisahaan di antara keduanya akan memosisikan agama dan media secara utuh, sekaligus menjadi kerangka acuan ber-dakwah melalui cara cara baru dalam industri media yang sarat akan kepentingan kapital.
Dalam membuktikan relasi agama dan media mengenai fakta objektif dan kecenderungan subjektif media, penulis melakukan penelitian sampling terhadap 2 media yang berbeda terhadap issue agama yang serupa, yakni issue pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan issue aksi bela Islam 212. Adapun media yang dijadikan sample adalah kompas dan republika karena kedua pembaca berita ini berasal dari dua kalangan yang berbeda.

B.   Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitis konteksual dengan pendekatan ideologis. Istilah ideologi banyak digunakan dalam kerangka ilmu sosial untuk menggambarkan ide-ide tertentu yang diungkapkan dalam komunikasi.[6] Pertentangan  ideologi itu sendiri, dalam sejarah filsafat bermula dari gerakan pembersihan teori dari kepentingan. Pemurnian ini diklaim sebagai cara untuk menjaga keilmiahan suatu teori yang dirumuskan untuk menjawab persoalan-persoalan manusia secara universal.[7]
Puncak gerakan pemurnian pengetahuan dari kepentingan ini terjadi pada masa positivisme  yang dicetuskan Auguste  Comte. Positivisme  menilai pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan mengenai fakta obyektif atau terbebas dari kepentingan. Penerapan metode ilmu alam pada kenyataan sosial mengandung masalah. Hal ini karena secara filosofis kenyataan sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi ataupun ditempatkan dalam bingkai hukum-hukum tetap sebagaimana pada fakta alam. Dalam konteks inilah teori kritis muncul.
Teori kritis yang dipelopori kelompok Mazhab Frankfurt berpendapat bahwa teori atau pengetahuan memiliki  keterkaitan dengan  praxis kehidupan sosial  manusia. Sebagai sebuah metodologi, teori kritis berada dalam hubungan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi), antara pengetahuan yang bersifat transendent dan yang bersifat empiris. Pendekatan ideologis dalam penelitian ini bermaksud untuk membongkar realiats objektif fenomena keagamaan dengan frame pemberitaan pada media yang memiliki kepentingan ideologis tertentu. selubung ideologis kelompok pluralis atau positivist.

C.   Hasil dan Pembahasan

Menurut Webster, kata ‘media memiliki akar kata yang sama dengan kata  ‘mediumyang artinya perantara, dan ‘medioyang artinya di tengah. Jadi, media adalah sarana yang menghubungkan, karena dia berperan sebagai perantara, yang berada di tengah di antara pihak-pihak yang terhubung. Dalam masyarakat modern, kata ‘media’ cenderung merujuk kepada sarana komunikasi publik, baik berbentuk cetak ataupun elektronik (Mish 1989 : 737).
Jika diamati lebih jauh, media dalam arti perantara, sebenarnya adalah bagian penting dari agama. Umat manusia tidak menerima agama langsung dari Tuhan, melainkan melalui seorang perantara. Dalam hal ini, tokoh- tokoh pembawa agama seperti Sidharta Gautama, Konfusius, Lao Tzu, Musa, Yesus, dan Muhammad pun merupakan media bagi penyebaran aggama. Dalam teologi Islam, ada tokoh-tokoh pembawa agama Allah yang disebut rasul dan nabi. Kata rasûl secara harfiah berarti utusan, atau orang yang diutus untuk menyampaikan pesan. Rasûlullâh, berarti utusan Allah.
Sementara Setelah media elektronik berkembang pesat, dari televisi hingga internet, para pengamat semakin peka melihat pengaruhnya yang signifikan terhadap agama. Kini media cetak dan elektronik cenderung dikelola bersamaan atau berkonvergensi. Radio, koran dan internet menjadi terkait satu sama lain.
Dalam dunia sudah sangat mudah diakses ini, media dapat dengan cepat menshare informasi melimpah ruah, dengan meminjam Marshall McLuhan sperti desa buana (global village), atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, sebagai dunia yang dilipat, yang terhimpun dalam flash disc, tablet, ponsel pintar, lap top dan layar televisi.
Akan tetapi, media sebagai penyampai wacana tertentu kepada publik yang memiliki watak ideologis dan kepentingan, teks berita tidak serta merta menyajikan sesuatu hal yang normatif, melainkan mewakili kecenderungan ideologisnya.
Ideologi yang masuk ke dalam praktik kerja wartawan atau pelaku media massa dilakukan melalui bahasa untuk menuliskan realitas. Dalam memaknai realitas, dua proses besar yang dilakukan media, yaitu memilih dan menulis fakta. Satu peristiwa utuh terdiri dari beberapa fakta yang sangat mungkin seorang wartawan memiliki kecenderungan memilih fakta yang berbeda dengan wartawan lain. Karena fakta yang dipilih berbeda, maka penulisannya dipastikan juga berbeda. Dengan demikian, satu peristiwa akan menampilkan fakta-fakta berbeda yang seringkali saling bertentangan. Peran ideologi wartawan dalam konteks pertentangan ini semakin terlihat mendominasi proses produksi dan reproduksi realitas.
Pada  saat  agama  sebagai  spiritual  bertemu  dengan  konstruk  agama  lain  terutama dalam hubungan yang bersifat konfliktual, agama mentransformasikan diri sebagai kekuatan ideologis. Implikasinya agama menjadi anti kritik yang berpotensi meningkatkan sensitivitas nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam konteks inilah agama rentan dijadikan sebagai pemicu atas situasi sosial politik yang secara substantif keduanya tidak memiliki hubungan apapun.
Perkembangan ke  arah  ideologi  ini  secara  ekonomi-politik memberikan  peluang kepada kelompok tertentu untuk memposisikan agama sebagai “amunisi” dan komoditas yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Isu-isu sosial-politik yang dikemas dalam paket agama mendapat perhatian masyarakat secara luas dan memberikan efek ketegangan yang besar. Keterlibatan  emosi  dan  perasaan  ideologis  yang  sama  diduga  menjadi  alasan  utama masyarakat mengambil bagian dari perkembangan isu agama ini.[8]
Potensi keterlibatan masyarakat yang besar ini bagi media massa sangat menarik. Hal ini karena media massa menempatkan masyarakat sebagai klien utama dan menjadi bagian strategis dari pengembangan kelembagaannya. Potensi bisnis yang mendasarkan pada kalkulasi kuantitas pembaca ini menuntut media massa mengembangkan segmentasinya pada berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Salah satu cara yang lazim digunakan  adalah  mobilisasi  melalui  pengembangan  opini  yang  dikemas  agar  terlihat memiliki kedekatan (proximity) dengan kelompok sasaran. Kedekatan opini dengan pembaca ini secara ekonomi politik tidak merepresentasikan ideologi keberpihakkan media, tetapi lebih sebagai strategi pengembangan pasar. Kepentingan ekonomi politik  inilah yang sesungguhnya menjadi basis bagi media massa dalam praktik-praktik pemberitaan.
Agama bagi media massa adalah isu strategis yang menjadi instrumen untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam konteks Indonesia, pemahaman agama terbangun dalam beberapa paham atau aliran yang secara umum terbagi dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu fundamentalis, modernis, dan liberal.[9]
Polarisasi pemahaman agama tersebut secara tidak langsung berdampak pada pemisahan  masyarakat  agama  dalam  sekat-sekat  ideologis   yang  berbeda.  Kelompok-kelompok ideologis ini secara sosial dan politik berinteraksi dalam paradigma berbeda dan memiliki   potensi   konflik   yang   tinggi.   Implikasi   kelompok-kelompok   ideologis   ini membangun kekuatan komunitasnya melalui pengembangan jaringan sosial politik yang salah satunya dengan media massa.
Namun karena media massa dalam era industrialisasi saat ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, kolaborasi dengan kelompok ideologis tidak berarti bahwa proses produksi dan reproduksi media massa juga bersifat ideologis. Produksi dan reproduksi wacana agama lebih dijadikan sebagai simbol identifikasi atau bentuk komitmen kolaboratif antara media massa dan kelompok ideologis. Proses simbolisasi ini secara ekonomis akan memberikan keuntungan kapital bagi media massa dengan keterjaminan pasar (pembaca) dari kelompok dan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan ideologi tertentu.
Determinasi kepentingan kapital dalam tubuh media massa tak jarang memberikan “tontonan” tersendiri bagi masyarakat terutama pada isu-isu agama yang menjadi kontroversi. Misalnya kasus Ahmadiyah yang setiap kemunculannya mendapat apresiasi yang tinggi darai media   baik   yang  cenderung   melakukan   pengucilan   atau   peminggiran   maupun   yang melakukan pembelaan. Pengucilan atau peminggiran umunya dilakukan dengan pilihan- pilihan bahasa yang bernada pengasaran (disfemisme) seperti aliran sesat, penistaan agama, kafir, dll. Sementara media yang terlihat melakukan pembelaan menggunakan bahasa-bahasa yang mengelaborasi tentang kebebasan berkeyakinan dan hak-hak asasi manusia. 2 (dua) model produksi dan reproduksi wacana ini diarahkan untuk memperoleh segementasi tertentu yang pada akhrinya berujung pada mobilisasi pembaca atau pendukung sebagai klaim atas praktik bisnis yang dijalankan.
Untuk membuktikan adanya kecenderungan ideologis antara agama dan media, penulis melakukan penelitian terhadap kasus hukum yang berkaitan dengan agama dan kasus politik yang berkaitan dengan agama. Adapun sample media yang dipilih adalah media online Kompas dan Republika karena keduanya mempunyai pembaca yang berasal dari kalangan yang berbeda. Teknik penelitian dilakukan dengan cara merilis 10 berita teratas atas tagline pembubaran HTI dan aksi bela Islam 212 karena kedua issue ini dipandang memiliki animo yang besar di masyarakat selama November sampai Mei 2017. Adapun penilaian terhadap hubungan ideologis dilakukan melalui klasifikasi tanggapan positif, netral, atau pun negatif.  
Atas penelitian terhadap 2 media tersebut, penulis memaparkan hasil sebagai berikut.

1.    Kecenderungan Media dalam Memberitakan Pembubaran HTI (Issue Agama dan Hukum)
Nama Media
Jenis Berita
Respon
Positif
Netral
Negatif
Kompas
Mendagri sebut pembubaran HTI tinggal tunggu waktu (4 Mei 2017
v


Perppu pembubaran HTI bisa jadi bumerang untuk pemerintah (17 Mei 2017)

v

Wiranto sebut pembubaran HTI tak pakai perppu tak langgar hukum (17 Mei 2017)
v


Ini yang diserahkan Polri ke Kemenko Polhukam untuk bukti pembubaran HTI (18 Mei 2017)
v


Jaksa Agung sebut pembubaran HTI masuk tahap final (26 Mei 2017)

v

Fadjroel anggap pembubaran HTI tak cederai kebebasan berorganisasi (15 Mei 2017)
v


Setya Novanto tegaskan Golkar dukung pembubaran HTI (25 Mei 2017)
v


Pimpinan DPR pembubaran HTI lebih baik lewat pengadilan (18 Mei 2017)

v

Percepat pembubaran HTI, pemerintah pikirkan opsi terbitkan Perppu (16 Mei 2017)
v


Wiranto minta masyarakat tak ribut soal rencana pembubaran HTI (15 Mei 2017)
v


Bobot Kecenderungan berita
7
3
0
Republika
Mahfud sebut 3 gerakan Islam perlu ditertibkan (24 Mei 2017)
v


PBNU dan Muhamadiyah menanggapi isu (22 Mei 2017)

v

Negara khilafah (18 Mei 2017)

v

Ketua MUI: penyampaian aspirasi harus sesuai koridor hukum (16 Mei 2017)

v

Upaya pemerintah bubarkan HTI dilaporkan ke komnas HAM (13 Mei 2017)


V
Kepala BIN: HTI adalah gerakan politik
v


Pembubaran HTI tanpa peringatan, Jaksa Agung: ini kejadian luar biasa (13 Mei 2017)

v

Wiranto sebut gerakan HTI ancam kedaulatan negara (13 Mei 2017)
v


Polri akan ungkap bukti HTI serukan ideologi khilafah di pengadilan (13 Mei 2017)
v


Wiranto pernah hadiri acarar HTI

v

Bobot Kecenderungan
4
5
1

2.    Kecenderungan Media dalam Memberitakan Aksi Bela Islam 212 (Issue agama dan Politik)
Nama Media
Jenis Berita
Respon
Positif
Netral
Negatif
Kompas
Polisi duga ada penyimpangan dana yayasan penampung aksi 411 dan 212 (8 Februari 2017)


v
GNPF kelola dana Rp. 3 Milyar di rekening yayasan untuk aksi bela Islam (10Februari 2017)

v

Bachtiar Nasir jelaskan soal pengumpulan dana aksi bela Islam oleh yayasan KUS (10 Februari 2017)

v

Selasa besok, massa aksi 212 datangi DPR sejak pukul 08.00 wib (20 Februari 2017)
v


Panglima TNI anggap aksi umat Islam tak terkait makar, ini kata Polri (5 Mei 2017)


v
Komisi III DPR terima perwakilan massa aksi 212 (21 Februari 2017)

v

Bagi bagi makanan saat aksi 212 (21 Februari 2017)

v

Aksi 411 dan 212 jadi sorotan di penghujung 2016 (1 Januari 2017)


v
Kapolri: Polri akan all out amankan pilkada DKI (17 April 2017)

v

GNPF MUI persilakan tindak aksi di luar kesepakatan

v

Bobot kecenderungan
1
6
3
Republika
PKS yakin aksi bela Islam 212 akan berjalan damai (30 November 2016)
V


Kapolres Cirebon kota, Muadzin bersuara merdu di aksi bela Islam 212 (4 Desember 2016)
v


PKS ajak masyarakat berpartisipasi dalam aksi bela Islam 212 (29 November 2016)
V


Miliki segera buku potret aksi bela Islam 212 (23 Februari 2017)
v


Buku dokumentasi aksi bela Islam 212 diluncurkan di IBF 2017 (4 Mei 2017)
V


Aksi bela Islam muncul karena pemerintah tidak tegas (1 Desember 2016)
V


Framing media barat terhadap aksi  damai 212 (4 Desember 2016)
v


Jumlah peserta 212 mencapai 7,5 juta orang (4 Desember 2016)
v


Potret dari udara aksi damai 212 di lapangan monas (2 Desember 2017)

v

Foto lautan manusia di aksi damai 212 di lapangan monas (2 Desember 2016)

v

Bobot score
8
2
0

Dari 2 media tersebut, meskipun keduanya memberitakan fakta yang sama, akan tetapi memiliki kecenderungan yang berbeda.
a.    Dalam menulis pemberitaan pembubaran HTI oleh pemerintah, Kompas merespon 7 berita positif (pro pembubaran HTI), 3 berita netral, dan 0 berita negatif, adapun Republika merespon 4 berita positif, 5 berita netral, dan 1 berita negatif.
b.    Dalam menulis berita aksi bela Islam 212, kompas merespon 1 berita positif, 6 berita netral, 3 berita negatif. Adapun Republika merespon 8 berita negatif, 2 berita netral, dan 0 berita negatif
c.     pembubaran HTI lebih banyak direspon positif oleh Kompas dan lebih banyak di respon netral oleh Republika, dan sedikit respon kedua dari kedua media tersebut. Hal ini dikarenakan pembubaran HTI oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan pancasila dan anti NKRI. Meskipun perbedaan respon positif dan netral, minimnya respon negatif terhadap pembubaran HTI merupakan kesetujuan kedua media tersbeut pada penegakan konstitusi yang dilakukan pemerintah.
d.    pada issue agama aksi bela Islam 212, kedua media tersebut kontras berbeda. Kompas lebih banyak netral meskipun negatif lebih banyak ketimbang respon positif, sedangkan republika merespon lebih banyak positif dan tidak ada respon negatif satu pun.
 Dari analisa di atas, penulis menilai media cenderung seragam dalam memberitakan issue hukum, dan sangat beragam pada issue politik. Perbedaan sudut pandang tersebut dikarenakan adanya muatan ideologis yang dimiliki media tersbeut. Republika memandang penegakkan hukum merupakan dominan lembaga penegak hukum, sedangkan politik merupakan alat untuk menyuarakan aspirasi keagamaan. Sebaliknya Kompas memandang penegakkan hukum perlu mendapat dukungan positif, sedangkan politik merupakan aspirasi warga yang digunakan untuk menuntut haknya.
Dari kedua narasi di atas, kompas memosisikan agama sebagai objek, sedangkan republika sebagai subjek. Keduanya setuju pada penegakkan konstitusi tapi berbeda pandangan dalam menyuarakan aspirasi politik pembacanya. Perbedaan aspirasi tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor kecenderungan agama dan kecenderungan politik media beserta pembaca setianya.
Dengan demikian, hubungan agama dan media tidak netral, tapi memiliki kecenderungan sesuai dengan ideologi media dan pangsa pasar pembaca, serta memaparkan fakta objektif dengan porsi dan framing yang berbeda. Hubungan agama dan media bisa menjadi wilayah spiritualitas, hukum, bahkan bisnis. 

D.   Kesimpulan

     Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang yang dianut suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan kebenaran. Pada konteks ini, komunikasi media memegang peranan penting sebagai transmisi ajaran kebenaran. Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan esensi keagamaan kepada masyarakat secara objektif dan empiris seringkali muncul dalam bentuk kecenderungan.
Dalam era industrialisasi seperti sekarang ini, tidak sedikit media yang turut menjadi media untuk mendulang kapital. Sebagai suatu sistem, segmentasi pembaca pun tidak hanya diposisikan sebagai pangsa pasar secara teknis, melainkan sebagai objek perluasan ideologis. Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media dipengaruhi oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap suatu individu yang terlibat dalam suatu media massa.
Ideologi yang masuk ke dalam praktik kerja wartawan atau pelaku media massa dilakukan melalui bahasa untuk menuliskan realitas. Pada  saat  agama  sebagai  spiritual  bertemu  dengan  konstruk  agama  lain  terutama dalam hubungan yang bersifat konfliktual, agama mentransformasikan diri sebagai kekuatan ideologis. Perkembangan ke  arah  ideologi  ini  secara  ekonomi-politik memberikan  peluang kepada kelompok tertentu untuk memposisikan agama sebagai “amunisi” dan komoditas yang bisa digunakan sewaktu-waktu.
Agama bagi media massa adalah isu strategis yang menjadi instrumen untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam konteks Indonesia, pemahaman agama terbangun dalam beberapa paham atau aliran yang secara umum terbagi dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu fundamentalis, modernis, dan liberal. 2 (dua) model produksi dan reproduksi wacana ini diarahkan untuk memperoleh segementasi tertentu yang pada akhrinya berujung pada mobilisasi pembaca atau pendukung sebagai klaim atas praktik bisnis yang dijalankan.




E.   Referensi
Afif Fusalhan. 2014. Kapiatlisme Media dan Komodifikasi Agama; Pesan Di Balik Cerita Sineron Religi Pesantren dan Rock N Roll Season 3. Skripsi Jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Agus Ahmad Safei. 2016. “Development of Islamic Society Based on Majelis ta’lim: A Study of the Shifting Role of Majlis Ta’lim West Java”. American Journal of Applied Sciences, Vol 13 Issue 8.
Ahmad Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal Komunika, Volume 6 No 2
Ali Iman. 2015. “Peranan Agama dalam Perubahan Sosial Masyarakat”. Jurnal Hikmah, Volume II no 1
Arifin, Anwar. 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali Press.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Eriyanto.  2009.  Analisis  Wacana,  PengantarAnalisis  Teks  Media.  Cet.  VII.  Yogyakarta: LKiS.
Hardiman,  F.  Budi.  1990.  Kritik  Ideologi,  Pertautan  Pengetahuan  dan  Kepentingan.Yogyakarta: Kanisius.
Jhonson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Penerjemah MZ. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Rosda.
Laode Monto Bauto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu tinjauan Sosiologi Agama. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Volume 23 No 2.
Mas’oed,  Mohtar.  2003. Ekonomi  Politik  Internasional  dan  Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moh Dahlan. 2014.”Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”. Jurnal Studi Keislaman, Volume 14 No 1
Mujiburrahman. 2015. Agama, Media dan Imajinasi Pandangan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer. Banjarmasin: Anatasari Press.
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cet ke-34, Jakarta: Raja Grafindo.
Yance Z Rumahuru. 2012. “Dialog Adat dan Agama Melampaui Dominasi dan Akomodasi”. Jurnal Al Ulum, Volume 12 No 2





[1] Laode Monto Bauto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu tinjauan Sosiologi Agama. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Volume 23 No 2, hlm. 4
[2] Mujiburrahman. 2015. Agama, Media dan Imajinasi Pandangan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer. Banjarmasin: Anatasari Press, hlm. 8
[3] Turner, Bryan S. 2014. Religion and Contemporary Sociological Theories. Current Sociology Review. Vol. 62 No.6: 771-778. Watson, C.W. 2005. ‘Islamic Books and Their Publishers: Notes on the Contemporary, dalam Mujiburrahman, Ibid, hlm. 4
[4] Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengantar Ringkas (Cet. I, Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 10-11
[5] Doyle Paul Jhonson. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Penerjemah MZ. Lawang, Jakarta: Gramedia, hlm. 237, dalam Ahmad Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal Komunika, Volume 6 No 2, hlm. 1
[6] Dalam pengertian positif, ideologi diposisikan sebagai pandangan dunia (world view) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedang dalam penegrtian negatif, ideologi dimaknai sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisisi Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 61.
[7] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 21
[8] Ekonomi politik merupakan kajian yang menekaknkan pada saling keterkaitan antara fenomena politik dan ekonomi, antara negara dan pasar, antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi didefinisikan sebagai  sistem  produksi, distribusi dan  konsumsi kekayaan,  sedang  politik  diartikan  sebagai sekumpulan lembaga dan aturan yang mengatur berbagai hubungan sosial dan ekonomi. Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 3-4
[9] Bahtiar  Effendy,  Islam  dan  Negara,  Transformasi Pemikiran  dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 194, dalam Ahmad Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal Komunika, Volume 6 No 2, hlm. 6

0 komentar:

Posting Komentar