Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Sejarah Bangsa Indonesia di Tengah Kepungan Tantagan Global

Sejarah Bangsa Indonesia di Tengah Kepungan Tantagan Global

Written By Iji Jaelani on Sabtu, 30 Januari 2016 | 07.19

Sejarah Besar Bangsa Indonesia di Tengah Kepungan  Tantangan Global[1]

Iji Jaelani[2]


sejarah indonesia, kebudayaan indonesia
sejarah besar bangsa Idonesia
Sejarah Indonesia adalah sejarah gugusan pulau pulau, sejarah kebhinekaan, sejarah maritim, sejarah globalisasi, sejarah kaum kosmopolitan. Dari negeri inilah kerajaan kerajaan dan komunitas dari belahan dunia lain datang dan berkembang membentuk satu akulturasi baru, baik kelompok Hindu, Budha, Islam,kristen. Begitu juga dengan Etnis yang datang dari Gujarat, Semenanjung Arab, China, bahkan negeri-negeri Barat yang datang.
Dari pergumulan antar budaya dan antar pulau ini kemudian lahir dan berkembang kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit, Demak,  bersentuhan dengan perang dunia II, kolonialisasi, globalisasi gaya baru, hingga nasionalisasi dan egalitarianisme hingga munculnya NKRI. Karena egalitanianisme itulah kemudian para pendiri bangsa ini memilih Bhinneka tunggal ika sebagai selogan kesatuan, yaitu berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Sebagai negara kepulauan, terdapat beberapa pulau yang besar, antara lain pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Di Pulau tersebut, telah berdiri kerajaan yang independen. Kemudian pada abad ke-13, muncullah ide untuk menyatukan negeri-negeri tersebut dalam satu Negara yang besar dan berdaulat.[3] Gajah Mada adalah pencetus ide brilian dan menakjubkan itu. Dengan komitmennya ia berjuang mewujudkan impian besarnya : menyatukan negeri-negeri yang independen dalam satu kesatuan yang kuat : akhirnya bernama Indonesia.
Dalam konteks kesejarahan nusantara, Gajah Mada dikenal dengan Sumpah Palapa-nya. Sumpah tersebut merupakan puncak nasionalisme bagi Gajah Mada sekaligus pertaruhan besar untuk merangkai sebuah negeri dari berbagai negeri yang berkeping-keping. Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada pada tahun 1331-1364, bersama Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yaitu janji prasetia untuk berpantang makan buah palapa sebelum seluruh kepulauan nusantara bisa takluk di bawah kekuasaan Negara.[4]
Sikap nasionalisme yang telah di cetuskan oleh Gajah Mada pada waktu itu, pada beberapa abad berikutnya dilanjutkan oleh para pemuda dalam melawan penjajahan atas alam nusantara hingga lahirnya gerakan persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa kesatuan Nusantara mendapatkan keputusan pada kongres Sumpah Pemuda di Jakarta menuju Indonesia Raya dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa Indonesia. Sumpah Pemuda ini, pada gilirannya yang menjadi cikal bakal terwujudnya sebuah republik atau yang mashur yang nation state (Negara-bangsa)

Kolonialisasi di Indonesia

Sejak masih berstatus nusantara dan setelah menjadi nation satate, Indonesia telah menjadi bagian dari pergolakan yang terjadi di belahan dunia. Hubungan dengan Negara lain yang telah terbangun dengan dunia luar, pada akhirnya membuat posisi Indonesia berada dalam incaran kaum kolonialis. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Ingris ke daerah bagian Nusantara merupakan akibat dari persaingan dagang dan politik antar negeri-negeri Eropa.
Indonesia menjadi bagian dari Negara yang membuat bangsa lain tertarik. Kolonialisasi yang dilakukan kepada Indonesia, bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara primadona, selain karena faktor kekayaan alam Indonesia yang melimpah, letak Indonesia juga sangat strategis. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bukunya yang terkenal Madilog, menurutnya bahwa minyak di Sumatra, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor di seluruh dunia. Bauksit dan alumunium, keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang kuat, keras, sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan.[5]
Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku Amerika pernah meramalkan, bahwa kalau suatu Negara, seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dan dunia, ia harus merebut Indonesia lebih dulu sebagai sendi kekuasaannya. Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain, sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperialisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan tentang tesis tersebut.
Kedatangan Belanda masuk ke Indonesia sejak tahun 1596 – Cornelis de Houtman di Banten - dan puncaknya terjadi pada saat VOC yang merupakan kongsi dagang pemerintah Belanda berada di Indonesia. VOC memulai kekejaman eksploitasinya sejak tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.P. Coen, salah satu kebijakan eksploitatifnya ialah sistem tanam paksa. 

Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi Dunia

Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi telah mengikis ruang antar daerah, antar wilayah, hingga mempersempit ruang kedaulatan antar negara. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan kecanggihan teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari satu Negara ke Negara yang lain.
Pada sisi lain, globalisasi dengan basis utama teknologi merupakan gerbang mulus bagi para korporasi besar, terutama korporasi di negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang miskin. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar.
Dalam gerakan global, hampir tidak ada lagi ruang bagi negara berkembang, karena yang memiliki posisi daya tawar kecil yang didominasi oleh negara besar dan korporasi besar, baik pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, hingga akumulasi modal. Pada posisi inilah negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar menggiurkan bagi para pelaku modal. Atas keterbatasan position inilah pada akhirnya Indonesia memiliki ketergantungan yang tidak sedikit  pada korporasi trans nasional dan negara maju hingga lumpuhnya kedaulatan dan kemandirian bangsa. Akhirnya, Indonesia tengah berada dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global yang tak bisa dielakkan, sehingga kebijakannya, baik dalam skala nasional maupun internasional tetap tidak bisa dipisahkan dari aturan main yang telah ditentukan Negara-negara besar.
Negara-negara pusat ( pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional, seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan inernasional. Perkembangan politik internasional telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan Negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara atas warganya sendiri semakin kecil, digantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah Negara.
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemedekaan yang sepenuhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya, telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia telah tunduk pada hukum pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga tidak memiliki kemerdekaan yang sepenuhnya.

Perjuangan Menjaga Keutuhan NKRI dari Sistem yang Menindas

sejarah indonesia, kebudayaan indonesia
perjuangan menjaga keutuhan NKRI
Globalisasi dan imperialisme sebagai penjajahan gaya baru merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Di antara kepungan kapital yang merasuki berbagai unsur kehidupan ini, tak ada yang bisa dilakukan kecuali dengan cara memperkuat rasa kecintaan terhadap tanah air (patriotisme), meningkatkan rasa nasionalisme, memiliki kemandirian dan kedaulatan serta kepribadian, dan memiliki kapasistas untuk mempercepat akses informasi komunikasi, serta melakukan kepekaan terhadap realita sosial, persekian hari, bahkan persekian detik.
Pada sisi lain, sejarah telah memberikan pelajaran bagaimana gerenasi pendahulu sejak zaman kerajaan hingga zaman kemerdekaan, bangsa Ini telah tumbuh menjadi bangsa yang besar, mengimbangi era globalisasi tahap awal, hingga jatuhnya kedaulatan karena penjajahan.
Sebagai bagian dari Indonesia, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar untuk merespon kondisi Indonesia di tengah ancaman politik-ekonomi global ini. Ide dan aksi-aksi rasional mahasiswa menjadi harapan bangsa ini, agar kembali menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki kemerdekaan yang penuh. Diam atas kondisi ini, bagi mahasiswa sama halnya lari dari tanggungjawab dan membiarkan bangsa ini tercekik secara perlahan-lahan.
Generasi lama telah selesai. Kini bangsa Indonesia masuk pada generasi bonus demografi, yakni jumlah pemuda yang lebih banyak di banding generasi tua. Pada satu sisi, bonus demografi ini bisa menjadikan Indonesia emas sepuluh hingga dua puluh tahun berikutnya, akan tetapi jika tidak bisa memaksimalkan perannya di Republik ini, maka bonus demografi ini akan semakin memperpanjang beban dan mimpi buruk Indonesia untuk menanggung generasi gagal.

Korupsi, konflik SARA, pencemaran lingungan, dan ekstrimisme agama kini menjadi ancaman dari dalam. Pada kondisi inilah mahasiswa sebagai iron stock dan agen social of change dituntut untuk bisa mencari jalan keluar dari berbagai kondisi di atas.





[1] Disajikan sebagai bahan materi “Keindonesiaan” pada Orientasi Mahasiswa Siyasah (ORMASI) 2015
[2] Penulis adalah mahasiswa siyasah angkatan 2009-2013
[3] Dr. Purwadi, M.Hum, Jejak Nasionalisme Gajah Mada : Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru (Jogjakarta, Diva Press,2004), hlm. 11
[4] M. Kholid Syeirazi, “The Death of Nationalisme? Problem dan Tantanganya Bagi Paham Kebangsaan Indonesia” dalam Majalah Tradem, edisi 5, April-Juli 2003, hlm. 71
[5] Tan Malaka, Madilog (Jakarta, Pusat Data Indikator, 1999), hlm. 25

0 komentar:

Posting Komentar