Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Apakah Kembalinya PMII ke Struktur NU adalah Kemunduran

Apakah Kembalinya PMII ke Struktur NU adalah Kemunduran

Written By Iji Jaelani on Selasa, 18 Agustus 2015 | 18.38

Menakar Ulang Hubungan PMII-NU


Akhir akhir ini marak polemik di kalangan PMII dengan ditetapkannya PMII kembali menjadi banom NU oleh keputusan muktamar. Keputusan muktamar ini sekaligus menandai berakhirnya pola hubungan independensi antara PMII dengan NU, sekaligus mengganti nama PMII menjadi PMII NU, banom NU yang konsen di segmen kemahasiswaan. 

PMII Kembali ke Banom NU
Menakar Ulang Hubungan PMII-NU
Akan tetapi, andai kata keputusan organisasi PMII memutuskan PMII kembalimenjadi banom NU, terapat persoalan mendasar yang akan muncul, baik persoalan hubungan PMII-NU, maupun positioning PMII, NU, dan negara.

Pertama, persoalan hubungan PMII-NU yang paling mendasar apakah PMII tetapi ndependen atau menjadi banom NU. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa kembalinya PMII ke NU adalah didasari pemikiran dan akhlak PMII yang melenceng dari nilai-nilai keaswajaan. 

Kedua, beberapa tulisan di NU online beberapa waktu lalu menyatakan bahwa independensi adalah soal situasi politik NU yang masuk kepolitik praksis. Ketika kini NU telah kembali ke khittah sejak Muktamar Situbondo hingga era reformasi, maka PMII sudah selayaknya kembali ke banom NU. 

Ketiga, termasuk disampaikan oleh K. Malik, dinyatakan bahwa Independensi yang dicanangkan sejak tahun 1971 itu belum membuahkan hasil yang memuaskan.

Ketiga pernyataan tersebut bisa saja benar, jika ditunjang oleh data-data yang valid. Pertama, persoalan bahwa sikap dan pemikiran PMII saat ini (dalam posisi independen) yang dinilai liberal adalah pernyataan yang sangat emosional, bahkan cenderung mengeneralisir. Penulis melihat persoalan etika adalah bukanp ersoalan independensi atau bukan, di samping juga masih banyak kader kader PMII yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tradisi ke NU-an.

Kedua, pesoalan latar belakang independensi karena persoalan situasi politik bias sepenuhnya dibenarkan. Akan tetapi munculnya independensi adalah sebagai rekayasa social PMII dalam kehidupan berbangsa dan benegara, termasuk dalam persoalan bagaimana PMII menjadi garis terluar yang menjaga nilai nilai aswaja dari serangan faham Islam transnasional dan jembatan pertama untuk mengenalkan faham ahlusunnah waljamaah kepada pihak lain, terutama mahasiswa.

Ketiga, pernyataan independensi belum membuahkan hasil yang memuaskan tidak sepenuhnya benar. Untuk membuktikan pernyataan tersebut memang perlu penelitian yang akurat, berapa persen pengurus NU dan banom banomnya seperti GP Anshor dan Fatayat, dan muslimat.Pertanyaannya, bagaimana membuktikan ketidakpuasan tersebut dan apa ukuran kepuasan independensi PMII itu? sementara di sisi lain PMII terus mengembangkan distribusi kader ke tubuh NU.


Merajut Hubungan Ideal PMII dan NU



Dari fenomena di atas, penulis melihat kembalinya PMII ke NU bukan persoalan sejarah independensi, bukan persoalan internal PMII yang “liar”, bukan pula persoalan kekosongan segmentasi kemahasiswaan di organisasi NU, melainkan bagaimana PMII dan NU bersinergi dengan ahlusunnah waljamaahnya menghadapi persoalan social kebangsaan, Islam transnasional, neolib, serta bagaimana melakukan rekayasa social dan rekayasa social untuk membumikan sekaligus mengembangkan ahlusunnah waljamaah yang kini lebih dikenal dengan Islam Nusantara sebagai sebuah peradaban.

Jika benar demikian, maka yang menjadi persoalan dasar adalah bagaimana pandangan PMII dan NU dalam memandang ahlusunnah waljamaah sebagai pijakan dasar. Di satu sisi, PMII melihat ahlusunnah waljamaah sebagai manhajul fiqr, sementara di sisi lain NU memosisikan aswaja sebagai madzhab. 

Perbedaan inilah yang menyebabkan PMII lebih dikenal liberal dalam memandang permasalahan sosail politik dan kenegaraan. Untuk menjembatani perbedaan tersebut, Jika aswaja disikapi sebagai sebuah spirit, maka kembalinya PMII ke NU bukanlah satu satunya solusi karena PMII dan NU adalah ibarat anak dan ayah yang dilahirkan dari keturunan yang sama. Akan tetapi jika kembalinya PMII ke NU untuk menyeagamkan positioning aswaja dalam organisasi, maka ini kemunduran PMII, termasuk tradisi PMII yang selama ini digerakkan.

Selama ini PMII dengan independensinya telah memosisikan sebagai benteng terluar NU untuk menyebarkan ahlusunnah waljamaah kepada mahasiswa non NU, atau pun NU kultural. PMII pun menjadi Zona Ekonomi Eksklusif-nya NU dalam menghadapiserangan Islam transnasional. Jika PMII ditarik kestruktur NU, maka akan ada satu kekuatan NU yang hilang di garis terluar. Adapun soal bagaimana masuknya pemikiran neolib kepada PMII, itu adalah soal akut yang tidak hanya memasuki PMII, tetapi juga memasuki banyakorganisasi lain.

Pada sisi lain, solusi structural (kembali ke banom NU) akan menyebabkan persoalan lain secara politik bagi internal PMII, yakni afiliasi partai. Ada dilemma besar mengenai rekayasa social keaswajaan. Di satusisi, aswaja harus memasuki semua elemen politik, akan tetapi di sisi lain aswaja pun memerlukan afiliasi patai untuk melakukan regulasi dan keputusan politik yang senafas nilai nilai aswaja. Pada posisi ini, apakah NU melakukan afiliasi terhadap salah satu partai tidak jadi persoalan bagi PMII. 

Akan tetapi apakah jika PMII sebagai organisasi independen secara politik kemudian berafiliasi untuk mendukung salah satu partai, apakah akan tidak akan menimbulkan masalah lagi. Jika pada akhirny amisalnya 20 tahun kemudian NU semakin besar dan kentara mengenai afiliasi partai, bahkan tidak mustahil menjadi partai lagi, apakah PMII harus kembali menegaskan independensi, seperti dilakukan Mahbub Djunaidi 44 tahun silam? Tidakkah itu berarti menciptakan kemunduran? Atas dasar hal tersebut, penulis melihat kembalinya PMII ke NU bukanlah solusi terbaik memecahkan masalah bersama, bahkan dinilai sebagai kemunduran.

Ada hal yang kiranya lebih bisa dilakukan, misalnya melakukan tabayyun antara PMII dengan NU mengenai persoalan persoalan dasar, baik kerangka aswaja yang harus diuji ulang, persoalan tradisi ilmiah yang cenderung menurun, pengelolaan mekanisme controlling atas jebakan kapitalisme yang merasuki tubuh organisasi, dan melakukan sinegitas strategi dan taktik mengenai posisi PMII dan NU menghadapi serangan Islam transnasional dan neolib yang marak selama ini.

Hal tersebut di atas merupakan hasil diskusi yang dilakukan di internal PMII cabang kota Bandun yang dikuatkan oleh ketua PC PMII Kota Bandung, Sahabat Ahmad Riyadi S. Leky, bahwa PMII memang sejatinya harus tetap independen. Bagaimana pun juga, PMII memiliki mekanisme oganisasi yang jelas, dan itu diputuskan dalam muspimnas dan kongres PMII. Kami mencintai NU, dan kami memiliki komitmen kuatuntuk mengembangkan ahlusunnah waljamaah ini. Persoalan NU membuat PMII NU bukanlah persoalan PMII, akan tetapi jika PMII kembali menjadi banom NU, kami menilai hal tersebut suatu kemunduran dan berharap hal tersebut direnungkan kembali. 

*Tulisan ini dibuat atas respon PMII Kota Bandung Biro menyikapi kebijakan PBNU yang menjadikan PMII menjadi banom NU. Saat ini penulis sebagai biro kaderisasi PC PMII Kota bandung periode 2015-2016

0 komentar:

Posting Komentar