Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Implementasi Undang Undang Desa Masih Banyak Tantangan

Implementasi Undang Undang Desa Masih Banyak Tantangan

Written By Iji Jaelani on Selasa, 01 Desember 2015 | 09.20

Iji Jaelani[1]


desa, alam desa, lingkungan desa
alam pedesaan
Undang-undang Desa yang  disahkan pada 8 Desember 2013 merupakan sejarah baru dalam  penguatan eksistensi desa sebagai benteng pertahanan paling akhir peningkatan kehidupan bebangsa dan benegara yang kokoh dan berdaulat. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menggantikan UU No 32 no 2004[2] tersebut merupakan kemajuan dan komitmen DPR mengenai penguatan Desa dalam sub sistem kenegaraan, sekaligus merupakan political will dalam meningkatkan kesejahteraan desa.

Tentunya, amanat konstitusi yang memiliki semangat otonomi dan penempatan desa sebagai subjek pembangunan ini patut mendapat apesiasi. Hal ini karena di dalamnya UU ini memberikan posisi penting desa dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa yang sebelumnya selalu pembangunan diprioitaskan pada area perkotaan. Begitu juga kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis di dalamnya memberikan peran strategis desa dalam membangun desa sesuai dengan kapasistas dan kebudayaannya.

Angin segar ini bisa bisa kita bandingkan dengan kodisi pertumbuhan dan pekembangan desa pra Undang Undang Desa ini keluar. Dalam sejarahnya, desa yang berada pada hierarki terbawah sistem ketatanegaraan Indonesia, selama ini lebih ditempatkan sebagai obyek daripada subyek pembangunan. Sebagai objek pembangunan, desa diposisikan sebagai bahan kajian, pilot project kebijakan, sumber dukungan politik, sumber legitimasi para penguasa dan eksploitasi para pengusaha.

Sejarah Desa dalam Sistem Ketatanegaaan Indonesia

Potret desa pada awalnya merupakan kumpulan warga yang memiliki kesamaan budaya, sumber daya alam dan mata pencaharian, memiliki kekhasan dan otonominya dari komunitas desa lainnya. Kondisi ini berubah ketika munculnya era kerajaan, desa sendiri mulai kehilangan otonominya mengenai sumber daya alam, semangat kegotong-royongan, sistem sosial yang penuh kekerabatan dan toleransi ketika ia diikat menjadi sebuah kerajaan Begitu pula pada era kemerdekaan, teutama orde baru, desa mulai kehilangan otonominya dengan disahkannya UU no 5 tahun 1979[3]

Kondisi yang sama terjadi pada era reformasi, pengaturan tentang desa yang dimuat paa UU No 22 tahun 1999[4] dan UU No 32 no 2014,  hanya dimuat dalam pasal-pasal yang sangat singkat[5]. Karena faktor sejarah tersebut, kembalinya otonomi desa sebagai tonggak pembangunan nasional merupakan harapan dan ekspektasi yang besar bagi semua kalangan, termasuk di dalamnya pemerintah eksekutif, legislatif, dan masyarakat itu sendiri. Spirit otonomi tersebut tentunya ditjukan tidak dalam rangka behadap-hadapan dengan kebijakan di atasnya, atau berhadap hadapan dengan kebudayaan perkotaan melainkan bergandeng tangan untuk kemajuan bersama dengan karakter budaya dan potensi yang berbea-beda.

Kekuatan Undang-Undang Desa

undang undang desa, tantangan undang undang desa, implementasi undang undang desa
undang undang desa
Secara general, terdapat beberapa loncatan besar yang digulikan pemerintah dngan diberlakukannya Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014. Pertama, untuk mempercepat pembangunan Desa, maka tiap Desa mendapat alokasi dana pembangunan sebesar 1 Milyad hingga 1,5 Milyar. Sedangkan jumlah Desa seluruh Indonesia berjumlah 79.702 Desa[6]. Jika diasumsikan setiap Desa hanya menerima dana pembangunan sebesar satu Milyard, maka setiap tahunnya akan bergulir Dana Pembangunan untuk Desa sebesar 79,702 Trilyun- 80 Trilyun/tahun.

Kedua, penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Dalam hal ini, kepala desa atau yang disebut lain (Nagari) memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan.  Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Selain penghasilan tetap yang dimaksud, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan lainya yang sah.[7]

 Ketiga, penguatan kewenangan kepala desa, yakni dalam UU Desa tersebut akan ada pembagian kewenangan tambahan dari pemerintah daerah yang merupakan kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan desa.[8]

Keempat, Undang Undang Desa ini menetapkan penambahan masa jabatan kepala desa yakni 6 tahun, begitu juga dengan pergantian kepengusan,  Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (pasal 39). Hal Ini berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan. Demikian juga dengan masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa, mereka bisa menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan, baik secara berturut turut maupun tidak berturut-turut.

Kelima, bertambah dan penguatan fungsi badan permusyawaratan desa. Menurut pasal 55 UU Desa yang baru, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, serta melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana dalam pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Tantangan Pelaksanaan Undang Undang Desa

Kekuatan Undang-Undang Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya juga memiliki resiko yang besar jika tidak diantisipasi sejak dini. Hal ini bisa dilihat dari faktor ekonomi-politik dan faktor histoisitas program.  Secara ekonomi politik, kondisi desa yang memiliki semangat homogen dan kekeluargaan di satu sisi bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun kemandirian dan kebersamaan. Akan tetapi, di sisi lain cendeung lebih menghindari potensi konflik meskipun di dalamnya memiliki resiko hukum yang besar, selain juga semangat feodalistik yang susah dilepaskan dari karakteristik pedesaan. Hal ini misalnya dari penyerahan sepenuhnya pengawalan program pada figuritas pemimpin, selain juga karena masyarakat cenderung mengabaikan pola pemikiran yang rasional dan modern. Kaitannya dengan relasi politik, kondisi ini cenderung rentan akan melemahkan partisipasi bersama, turut meningkatkan hegemoni politik, dan lemahnya SDM yang siap memiliki kapasitas daya saing tinggi dan visioner.

Turunan dari perspektif tersebut, pemerintah desa memiliki tantangan tersendiri, terutama mengenai akuntasi, akses informasi, dan sumber daya manusia yang modern. Dalam persoalan akuntansi misalnya, kepala desa sebagai pejabat pembuat komitmen  dituntut untk memiliki pemahaman akuntansi yang baik, terutama mengenai pengelolaan keuangan. Dengan pemahaman akuntansi yang baik, akan muncul manajemen pengelolaan keuangan yang terukur, objektif, transpaan, dan akuntable.

Tantangan kedua dan sebagai salah satu poin yang paling krusial dalam UU Desa, adalah terkait alokasi anggaran untuk desa, di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Menurut Komisi II DPR RI Budiman Sujatmiko, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa.  Diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkatdesa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Jadi diperkirakan total dana untuk desa adalah Rp.104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia[9]

Anggaran tersebut tentunya akan mempercepat akselerasi pembangunan desa yang di dalamnya terdapat dusun-dusun yang selama ini anggaran pembangunannya lebih banyak dari dana APBD kabupaten atau provinsi. Pembangunan desa akan mempercepat perputaran roda ekonomi di desa yang nantinya juga akan mempengaruhi wilayah-wilayah di atasnya. Demikian harapan yang disandarkan pada penetapan UU Desa ini.

Adapun tantangan ketiga adalah managerial SDM perangkat desa yang mampu membuat skema pembangunan dengan basis kapasitas dan kebudayaan setempat. Tidak dapat dipungkiri, pembangunan kapatisas SDM menjadi faktor penentu sukses tidaknya semangat otonomi dan kepeloporan desa. Kapasitas ini pulalah yang akan membedakan pelaksanaan UU Desa sebagai sebuah program, atau hanya sebagai semangat project. Jika aparat desa memiliki kelmahan kinerja dalam pengelolaan keuangan, hal ini  bisa menjadi ancaman serius. Potensi tindak pindana korupsi layaknya penyalahgunaan dana bisa saja terjadi. UU Desa juga akan memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan, ketika kebijakan yang diambil pemerintahan desa dituding tidak merata. Kepala desa bisa menjadi sasaran demo jika transparansi dalam penggunaan anggaran tak melibatkan publik

Banyak pihak yang melihat pelaksanaan Undang Undang Desa ini dari sudut pandang yang optimis. Selain karena ada kekhawatiran munculnya semangat project, hal ini bisa dilihat dari catatan program PNPM yang akan habis tahun 2015.  Setelah digulirkannya program PNPM guna mengentaskan kemiskinan pada tahun 2008, berbagai kemajuan telah dicapai. Meskipun, pada saat yang sama, keberhasilan itu masih dapat dipertanyakan dan diperdebatkan mengenai ukuran kemajuan yang dimaksud.

Dalam potret program yang telah digulirkan PNPM, angka kemiskinan tidak lalu turun dalam angka yang cukup signifikan. Menurut Iskandar Zulkarnain, Ketika program ini diluncurkan pada tahun 2008, angka kemiskinan berada pada angka 11,8 % dan ketika program ini akan berakhir pada tahun 2015, angka kemiskinan menunjukkan pada angka 11,27 %[10]. Sungguh ironis, kurun waktu program pengentasan kemiskinan yang memakan waktu enam tahun itu, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,53%. Tentunya program PNPM yang akan berakhir ini pun patut mendapatkan evaluasi total jika pelaksanaan UU Desa ingin memiliki ekspektasi besar mengenai desa yang mandiri dan berdikari.

Berkaca dari program PNPM tersebut, tentunya wajar jika terdapat petanyaan mengenai bagaimana pola pengelolaan dana yang demikian besar itu. Begitu juga pertanyaan lain mengenai perlukah pendampingan dari lembaga luar ataukah tidak, terutama mengenai RPJMDes, Perdes, dan BUMDes. Begitu pula dengan pola pendampingannya, berapa lama waktu penampingannya hingga masyaakat desa bisa benar-benar mandiri dalam menyikapi berbagai tantangan?

Resolusi

Berdasarkan kekuatan dan tantangan di atas, tentunya banyak kalangan yang sangat empati an responsif, terlebih aparat penegak hukum, stake holder, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. UU Desa yang bertujuan untuk memosisikan desa secara mandiri dan memiliki kembali otonominya, dipandang perlu adanya komitmen bersama untuk saling mengawal alam rangka mewujudkan desa yang berdikari, baik di bidang pangan, energi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa memiliki sejumlah hak tradisional yang berfungsi untuk menekan jarak antara kebijakan pemerintah desa dengan kebutuhan rakyatnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menegaskannya dalam kewenangan desa berdasar hak asal-usul (rekognisi) dan kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas).

Berbekal dua kewenangan di atas, desa harus mampu melepaskan dirinya dari ketergantungan dan patronasi pemerintah supradesa. Selama ini perumusan program kerja pemerintah desa banyak mendasarkan diri pada kontruksi desa yang dibangun oleh pemerintah supradesa. Misalnya, untuk merumuskan program kependudukan, desa masih merujuk ke data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, begitu juga dengan rumusan program pendidikan, desa merujuk pada data Dinas Pendidikan. Pemerintah desa tidak memiliki rujukan data akurat yang dioleh oleh mereka secara mandiri.

Kondisi itu menunjukkan desa belum mampu mengenali dirinya secara menyeluruh. Fakta-fakta yang terjadi di desa masih dianggap oleh pemerintah desa sebagai peristiwa harian yang tanpa makna. Hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat desa terbangun sebatas hubungan sosial-kemasyarakat karena perumusan kebijakan desa justru lebih banyak melaksanakan tugas-tugas perbantuan pada pemerintah supradesa.

Konsep Desa Berdikari ingin mengembalikan fungsi desa sebagai pelembagaan masyarakat sipil. Pemerintah desa dan masyarakat desa mampu menciptakan kolaborasi kerja untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di desa. Kolaborasi kerja bisa dimulai melalui kerja-kerja mengenali desa sendiri. Desa memiliki kedaulatan atas data kondisi wilayahnya sebagai data banding atas data yang dikontruksi oleh pemerintah supradesa. Desa mampu mengaudit hasil-hasil survei supradesa melalui Sistem Informasi Desa yang dibangun oleh pemerintah desa dan masyarakat desa.

Adapun dari sisi tata kelola pemerintahan, kebijakan pemerintah menetapkan arah pengelolaan pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan reformasi birokrasi, merupakan pilihan yang rasional (rationalchoice). Salah satu agenda besar menuju good governance dan reformasi birokrasiadalah peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah, baik di tingkat pusatmaupun di tingkat desa.

Dalam rangka peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah desa, dipandang perlu untuk diperhatikan mengenai pengembangan kapasitas aparaturpemerintah desa dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publikseperti kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam menghadapibencana, kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan ekonomi desa,kemampuan pengelolaan keuangan Desa, an pengelolaan kelestaian lingkungan hidup. Untuk itu, aparatur pemerintah desa diharapkan  memahami peran strategisnya agar belajar mendalami, menggali serta mengkaji berbagai permasalahan dan tantangan pelaksanaan good governance dan reformasi birokrasi ke depan, untuk dapat diterapkan secara optimal di lingkungan kerjamasing-masing.

Penutup

Amanat Undang-Undang Desa merupakan amanat konstitusi yang selayaknya dijunjung tinggi dalam rangka membangun keailan sosial dan kesejahteraan bangsa. Kekuatan bangsa ditentukan oleh kebijakan-kebijakan hukum yang responsif, visioner, dan semangat kerakyatan yang tinggi, pelaksanaan aturan hukum yang ditaati, dan patisipasi aktif seluruh elemen masyaakat. Ketiga hal tersebut jika bisa bersinergi satu sama lain, akan berdampak pada terciptanya kehidupan berkebangsaan yang kokoh dan berdaulat. Perlunya saling mendukung dan mengawal pelaksaan Undang-Unang ini merupakan kekuatan besama, terutaman dalam menghaapi berbagai tantangan.

Dalam hal ini, LBH Majalengka sebagai bagian penting dari Non Goernment Oganization yang peduli terhadap kehidupan yang taat hukum, termasuk di dalamnya sangat responsif pada pemberdayaan masyarakat, ikut mensupport pelaksanaan UU Desa sesuai dengan amanat konstitusi. Begitu pula mengenai tantangan kader desa yang mumpni dalam membuat rancang bangn infrastuktur Desa serta memepercepat kebutuhan akan kader desa yang memiliki kapasitas untuk mengelola managerial di lapangan, LBH sebagai lembaga advokasi siap bekeja sama dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para pembuat kebijakan, apaat pnegak hukum, dan lembaga desa itu seniri.  Kita berharap Desa ke depan bisa menjadi faktor pelopor perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.





[1] Anggota Divisi Kebijakan Publik dan Good Governance pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH Majalengka)
[2] Undang Undang No. 6 Tahun 2014 memberikan perhatian kebijakan yang lebih luas kepada desa, misalnya mengenai desa adat, lamanya masa jabatan kepala desa, dan kewenangan desa. Misalnya, pada UU No 32 Tahun 2004 hanya disbutkan bahwa desa hanya menyebutkan masyarakat adat, tetapi pada UU no 6 tahn 2014 ditegaskan desa adat beserta hak-hak yang melekat padanya. Begitu juga dengan masa jabatan yang asalnya 6 tahun dan dibolehkan menjabat kembali periode berikutnya, diperluas menjadi 3 kali masa jabatan baik berturut-turut maupun tidak. Undang Undang Desa terbaru ini merupakan loncatan panjang dalam memperkuat posisi desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
[3] Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati se­jumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masya­rakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan teren­dah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Re­publik Indonesia. Hak me­nyelenggarakan rumah tang­ganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat di­katakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istia­dat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.
[4] Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi, Undang Undang ini tidak memberikan ruang yang banyak terhadap otonomi desa
[5] UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, desa bisa disebut dengan nama lain yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun sayang, kewenangan desa dalam UU 32/2004 menjadi tidak mempunyai arti apa-apa karena urusan berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tidak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian pula urusan yang berasal dari kabupaten/kota, ternyata banyak yang belum didelegasikan.
[6] Angka tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik ter-update pada 2012. Jumlah desa bisa berkurang atau bertambah pada tahun 2014. Data ini bisa diakses pada www.bps.go.id
[7] Undang Undang No 6 tahun 2014 pasal 66
[8] Pasal 72 Undang Undang Desa No 16 Tahun 2014
[9] Diakses dari www.merdeka.com, peristiwa UU Desa Disahkan, Dana Sebesar Rp 104,6 Trilyun Dikucurkan, diakses pada 4 Desember 2014
[10] Diakses dari Iskanar Zulkanain, iskandarzulkarnain.com dalam regional.kompasiana.com, solusi menghadapi undang undang desa, diakses pada 4 Desember 2014

0 komentar:

Posting Komentar