Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Kekerasan Atas Nama Agama

Kekerasan Atas Nama Agama

Written By Iji Jaelani on Selasa, 30 Mei 2017 | 08.18

Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan dalam Kasus Kekerasan Atas Nama Agama



pembubaran KKR, intoleransi agama, kekerasan atas nama agama, pembubaran KKR oleh PAS
aksi pembubaran KKR oleh PAS


Iji Jaelani, Program Studi Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Email: ijijaelani14@gmail.com

Abstrak

Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. para tokoh agama adalah bagian dari entitas sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan.  Akan tetapi tokoh agama dan lembaga keagamaan dapat bermuka dua, menjadi pembendung konflik dan pencipta konflik keagamaan dan kekerasan itu sendiri.   Studi kasus hal ini adalah pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Kota Bandung pada 12 Desember 2016.  Penelitian ini menggunakan teori konflik untuk mengkaji akar masalah dan motif kekerasan atas nama agama. Dari penelitian ini, diketahui bahwa Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung, pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat kultural dan tidak langsung. Solusi yang dilakukan adalah melakukan mediasi, penegasan regulasi, beserta dialog intensif sesama ormas keagamaan.

Kata Kunci: kekerasan atas nama agama, pembubaran KKR

A.    Pendahuluan

Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Khususnya Jawa Barat, dalam 5 tahun terakhir kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat terbilang buruk. Dalam laopran Wahid Institut Februari 2017, dari 294 pelanggaran sepanjang 2017, 28 di antaranya di Jawa Barat. Begitu pula laporan komnasa HAM pada Januari 2017 menyatakan bahwa terdapat 21 pengaduan di Jawa Barat dari 97 total pengaduan kebebasan beragama.[1] Menurut Subhi Azhari, tingginya pelanggaran di Jawa Barat dikarenakan 2 faktor, yakni banyaknyya kelompok intoleran di Jawa Barat dan kemungkinan ada kecenderungan segregasi sosial di kota besar antara Bandung dan Jakarta.[2]
Situasi ini sangat ironi, praktik kekerasan atas nama agama justeru dilakukan oleh tokoh agama dan ormas keagamaan. Misalnya, kasus penyerangan ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada 2011, penyerangan ahmadiyah di Manislor, Kuningan 2007, sengketa GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia di Bekasi.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, para tokoh agama adalah bagian dari entitas sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan. Bahkan peranan mereka dari sudut fungsi budayanya adalah sebagai makelar budaya dalam bahasa gus dur atau ‘cultural brokers’ dalam bahasa Clifford Geertz.[3] Dalam fungsi ini peran tokoh agama adalah untuk membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat.
Sama halnya dengan peran mereka sebagai pengendali budaya, para tokoh agama juga memiliki peran penting dalam mempererat hubungan sosial dan juga kekuatan untuk mengendalikan proses dan siklus terjadinya konflik di  masyarakat. Namun kekuatan pengendali konflik itu terkadang dapat bermuka dua, di mana pada satu sisi, kekuatan yang dimiliki tokoh agama tersebut dapat menjadi peluang besar untuk dapat menghentikan siklus-siklus konflik atau pada sisi yang lain justru malah menjadi alat yang membidani lahirnya konflik dan kekerasan. Selain itu, kekuatan tersebut  juga dapat merubah arah konflik yang telah terjadi di masyarakat sehingga konflik dapat menjadi semakin keras dan  berkembang  ke  arah  konflik fisik yang berupa penyerangan, perusakan, pembakaran atau menjadi semakin mereda dan pada akhirnya dapat diselesaikan.
Kekuatan utama tokoh agama terletak pada kewibawaan moralnya yang memiliki implikasi terhadap peran sosial dalam kehidupan. Secara politis, kewibawaan tokoh agama yang sangat kuat dapat melahirkan kekuasaan ideologis bagi dirinya, yakni kekuasaan yang diperoleh para tokoh agama melalui idea atau gagasan, yang kemudian menjelma menjadi kharisma yang dapat melahirkan kepatuhan luar biasa bagi masyarakatnya, oleh karenanya kekuatan tokoh agama dapat melahirkan dominasi terhadap struktur sosial dan hegemoni terhadap struktur kebragamaan formal dan spiritual masyarakatnya.
Dengan hegemoni ini, para tokoh agama dapat memperbesar atau mengecilkan konflik yang ada di masyarakat sesuai dengan ide dan gagasan yang sampaikannya kepada masyarakat, sehingga fatwa mati bagi orang yang tidak sejalan dengan pemikiran tokoh agama dan klaim memperoleh kebenaran tunggal dan angin surgawi bagi seseorang yang perbuatan dan prilakunya sesuai dengan  yang diiginkan tokoh agama adalah satu hal yang berjalan di banyak kasus-kasus konflik dan kekerasan yang bernuansa agama.
Untuk memahami hubungan antara peran tokoh agama dan ormas keagamaan dalam kasus kekerasan atas nama agama, penulis melakukan penelitian kasus pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari Kota Bandung pada 12 Desember 2016.  Acara ini dibubarkan massa yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah (PAS) dengan alasan kegiatan kebaktian harus dilaksanakan di gereja bukan di tempat umum.
Landasan pembubaran KKR tersebut mengacu kepada Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dengan Menteri dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006 tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Sementara pihak panitia penyelenggara menyatakan kegiatan tersebut sudah dilakukan setelah menempuh semua prosedur perizinan ke pihak Kesbangpol Kota bandung.

Adapun kronologi pembubaran kegiatan KKR di Sabuga adalah sebagai berikut.[4]
a.       Pukul 15.32 WIB Pdt. Dr. Stephen Tong berkoordinasi dengan pejabat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Bandung bernama Iwan dan petugas Polrestabes Bandung Ipda Edy dan Ipda Kasmari tentang aspirasi massa PAS agar Gedung Sabuga tidak dipakai dalam acara kebaktian. Stephen meminta waktu selama 45 menit untuk membahasnya dengan para jemaat yang sudah terlanjur masuk gedung.
b.      Pukul 16.32 WIB, Iwan (Kesbangpol Bandung) memberikan penjelasan kepada perwakilan PAS atas permintaan Stephen Tong tersebut.
c.       Pukul 17.00 WIB massa PAS yang berkumpul di jalan masuk menuju gedung Sabuga menyampaikan akan memberikan waktu sampai pukul 18.00 agar panitia KKR meninggalkan gedung sabuga.
d.      Pukul 17.30 WIB perwakilan PAS dipimpin oleh orang bernama Roin memasuki gedung sabuga untuk menghentikan kegiatan latihan paduan suara panitia kebaktian dan jemaat KKR. Seluruh jemaat dan panitia KKR diminta keluar gedung karena akan diadakan mediasi.
e.       Pukul 17.45 WIB, perwakilan PAS melakukan rehat untuk salat maghrib.
f.       Pukul 19.00 WIB bertempat di ruang bengkel pameran gedung Sabuga, dilakukan audiensi antara dua wakil PAS yakni Roin dan Dani dengan Stephen, dengan mediator Kapolrestabes Bandung dan stafnya. Hasil dari mediasi tersebut pada intinya adalah PAS memberikan waktu 10 menit kepada Stephen untuk memberikan penjelasan kepada seluruh jemaat yang sudah hadir, bahwa pelaksanaan KKR tak bisa dilanjutkan karena "adanya kesalahan prosedur dalam proses kelengkapan pemberitahuan kegiatan" oleh panitia KKR.
g.      Pukul 20.00 WIB, wakil PAS kembali ke massanya untuk menyampaikan hasil mediasi.
h.      Pukl 20.05 WIB Stephen memberikan penjelasan kepada seluruh jemaat bahwa adanya penolakan dari PAS terhadap KKR karena adanya kesalahan prosedur.
i.        Pukul 20.19 WIB para jemaat KKR menyanyikan lagu Malam Kudus dan menutup acara dengan doa.
j.        Pukul 20.21 WIB, jemaat KKR meninggalkan gedung Sabuga dengan tertib dan kemudian massa PAS ikut meninggalkan gedung Sabuga.

Pembubaran kegiatan keagamaan keagamaan di  Sabuga tersebut menuai banyak perhatian masyarakat luas. Walikota bandung menyatakan dukungan agar kegiatan tersebut dilanjut karena hak beragama dilindungi Undang-Undang. Adapun Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa kegiatan pembubaran acara KKR tersebut hanya merupakan kejadian kecil yang tidak mengganggu apa apa. Pasca pembubaran acara kebaktian, banyak netizen yang melakukan kecaman terhadap peristiwa pembubaran tersebut dan menjadi berita nasional, menyatakan bahwa Bandung Intoleran.
Kasus ini dipandang penting untuk diteliti karena berkaitan dengan kekerasan atas nama agama serta melibatkan tokoh agama dan kelompok keagamaan. Penelitian ini berupaya mendalami motif pembubaran acara KKR, hubungan tokoh agama dan lembaga keagamaan dalam kekerasan atas nama agama, baik sebagai pengendali konflik sekaligus pencipta konflik.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teori konflik, terutama jenis konflik/ kekerasan dan sebab yang melatarbelakanginya. Pembahasan diskursus kekerasan sendiri sudah dimulai semenjak masa  filsafat  klasik  Yunani sampai masa  kontemporer. Meskipun demikian,   dinamika akademik tentang  akar kekerasan masih memberikan ruang  untuk  terus  dikaji   sesuai   dengan  konteks kesejarahannya. Namun secara  simplistik, terminologi kekerasan dimaknai sebagai  bentuk perilaku yang menciderai, melukai, merusak dan  membunuh, baik  secara  fisik  maupun psikologis.[5]
konsep  kekerasan menurut Johan Galtung yang dikutip Novri  Susan  terdiri dari  tiga  dimensi;  struktural, langsung dan kultural.  Kekerasan struktural (structural violence) dimaknai sebagai ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem kuasa yang menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs). Kekerasan langsung (direct  violence) dapat dilihat pada   kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka luka pada organ tubuhnya.
Sedangkan kekerasan  kultural  (cultural  violence), dapat  jug dikatagorikan sebagai  penggerak dari kekerasan struktural dan langsung. Hal ini dikarenakan karakter kultural dapat muncul pada dua dimensi kekerasan tersebut.  Jenis  kekerasan  ini dilihat sebagai sumber lain  dari  tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan. Galtung seperti yang disadur Novri, memperjelas kekerasan jenis ini adalah dari aspek-aspek kebudayaannya, dan ruang simbolis dari  keberadaan masyarakat, seperti agama   dan ideologi,  bahasa  dan  seni,  ilmu  pengetahuan empiris dan formal (logis, matematis) yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan struktural dan langsung[6]
Menurut Thomas, kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Dia menyatakan bahwa individu/kelompok tertentu yang  melakukan  kekerasan seringakali disebabkan situasi  yang tidak  menguntungkan pada dirinya, seperti ketidakadilan, ketertindasan yang terus-menerus, sehingga memunculkan kemarahan-kemarahan dalam rangka memberikan respons pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Hal ini mempunyai legitimasi melalui doktrin-doktrin teologi/ agama untuk melakukan perlawanan dari ketertindasan sehingga kekerasan yang ditempuh merupakan bagian  dari interpretasi ketaatan beragama.  
Artinya, pendekatan konflik sewaktu-waktu dapat dilakukan tergantung  sebab-musabab yang mendapat  dukungan  teologis. Max  Weber   mengatakan  bahwa pengorbanan manusia dengan harapan-harapan keduniawian didorong oleh magisme atau  religiusme. Dengan  kata  lain, pengorbanan yang  dilakukan oleh  manusia yang  mengandung unsur kekerasan itu diperintah oleh agama  atau  magis.[7]
Dalam konteks politik-kekuasaan, agama telah dimanipulasi oleh   par penguasa untuk  kepentingan  politik sebagai   upaya untuk  membebaskan dirinya dari  kewajiban moral jika  merasa eksistensinya terancam. Sehingga radikalisme dan kekerasan telah dibingkai “agama”  sebagai  ekspresi  keinginan untuk menetralisir dosa. Ironisnya, sebagian para penganutnya tidak  menyadari bahwa peristiwa kekerasan yang “seakan-akan” atas nama agama itu ternyata demi kepentingan untuk merebut atau  mempertahankan kekuasaan politik baik individu maupun kelompok. Kadang dalam peristiwa-peristiwa itu,  doktrin agama  tentang kasih  sayang  dan saling  menghormati perbedaan (  rahmatan  lil alamÄ«n) terabaikan begitu saja.
Idiom  kekerasan dalam  agama  sering  disebut juga  dengan radikalisme  agama.   Secara  etimologis,  radikalisme  berasal   dari kata   radix,  yang  berarti  akar Dalam pandangan Yusuf Wibisono, seseorang   yang  bersikap   radikal itu  adalah orang  yang  menghendaki perubahan terhadap situasi status quo dengan membongkar sampai  ke akar-akarnya.[8] Radikalisme kemudian dimaknai sebagai  suatu sikap  atau  keadaan yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkannya secara totalitas, dan menggantinya dengan seseuatu yang baru, yang sama sekali berbeda.  Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner, artinya menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis  lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi ekstrem lainnya.
Secara sosiologis, setiap  prilaku radikal  kerapkali dikaitkan dengan pola perubahan sosial dalam bentuk yang lebih ekstrem dan sarat  dengan konflik,  termasuk radikalisme  agama  yang  disertai dengan berbagai  perilaku kekerasan. Namun, realitas tidak sedikit membuktikan bahwa konflik- konflik sosial lebih dikarenakan persoalan sharing otoritas yang tidak merata alias tidak  adil. Perihal  ini sependapat dengan sang teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf yang dikutip George Ritzer & Douglas JG (2005), menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi   disebabkan  terjadi  perbedaan  pendistribusian  otoritas. Arti lain,  otoritas atau  kekuasaan lah selama  ini yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini marak  diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di  Indonesia.[9]

C. Analisis Masalah

Berdasarkan penelitian terhadap berita yang membahas peristiwa tersebut, penulis melakukan analisis model kekerasan atas nama agama, motif, serta hubungan tokoh agama dengan kekerasan atas nama agama.

a.      Analisa aktor, akar masalah, dan jenis kekerasan

Pada acara pembubaran tersebut terdapat akar masalah yang menyebabkan terjadinya pembubaran, yakni pertama soal penggunaan fasailitas publik untuk acara keagamaan dan miskomunikasi mengenai pemberitahuan acara kepada kesbangpol dan polrestabes. Pertama, larangan penggunaan fasilitas publik yang dipaparkan PAS dilandaskan pada SKB menteri agama dan menteri dalam negeri no 8 dan 9 tahun 2006 bab V mengenai izin sementara pemanfaatan bagunan gedung sebagai rumah ibadah sementara.  Adapun isi dari SKB tersebut pasal 18 dan 19 adalah sebagai berikut.

Pasal 18
Pemanfaatan bangunan gedung bukarumah  ibadat  sebagai rumah  ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
a.  laik fungsi; dan
b.  pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a.  izin tertulis pemilik bangunan;
b.  rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c.  pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d.  pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Pasal 19
(1) Surat  keterangan  pemberian  izin  sementara  pemanfaatan  bangunan  gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
(2) Surat  keterangan  pemberian  izin  sementara  pemanfaatan  bangunan  gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Dalam klausul tersebut, pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah untuk rumah ibadah sementara di antaranya harus mendapat surat izin sementara dari walikota, serta pelaporan tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota.
Berkaitan dengan klausul tersebut, perizinan KKR dapat dianalisa sebagai berikut.
a.       PAS menyatakan kegiatan KKR adalah natalan, yakni kegiatan reguler keagamaan yang dilaksanakan tanggal 25 Desember. Adapun KKR sendiri bukan kegiatan reguler keagamaan dan tidak ada aturan khusus mengenainya. Dengan demikian, landasan SKB tidak menjadi landasan hukum kegiatan keagamaan non reguler/ insidentil seperti KKR.
b.      Mengacu SKB no 8 dan 9 tahun 2006 pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3), kegiatan keagamaan di ruang publik harus mendapat izin dari walikota/ bupati dan mendapatkan pelaporan tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota. Menurut PAS, kegiatan KKR tidak melaporkan kepada departemen agama kanwil propinsi, sedangkan menurut Buchori, kepala kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat, kegiatan tersebut diadakan di lingkup kota.[10] Begitu pula Ridwan Kamil menyatakan sudah memberikan izin penyelenggaraan acara tersebut.[11]
c.       Dalam mediasi antara pihak KKR dan PAS, masalah pembubaran kegiatan terjadi karena perizinan acara hanya untuk siang hari dari pukul 13.00-16 00, sedangkan acara masih berlanjut hingga pukul 18.00
d.      Adanya dualisme alasan pembubaran kegiatan kebaktian tersebut memberikan sikap ambigu kelompok PAS. Dalam spanduk dan keterangan pers dinyatakan kegiatan keagamaan sebaiknya diadakan di gereja dan tidak menggunakan fasilitas publik, di sisi lain kesalahan panitia KKR karena miskomunikasi jadwal durasi kegiatan. Alasan fundamental adalah kesalahan PAS, alasan teknis adalah kesalahan KKR.
e.       Dengan demikian, kegiatan KKR adalah sah menurut hukum dan pembubaran acara tersebut merupakan bagian dari sikap intoleransi beragama dan kekerasan atas nama agama.
f.       Kekerasan atas nama agama tersebut berwujud kekerasan kultural dan bersifat tidak langsung karena menimbulkan ketakutan, kebencian, dan   kecurigaan.

b.   Hubungan Tokoh Agama, Kelompok Agama, dan Kekerasan atas nama Agama

Berdasarkan analisa aktor di atas, kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok PAS adalah kekerasan yang secara sengaja terhadap kegiatan kebaktian kaum kristiani. Kesalahan landasan pembubaran kegiatan yang mengacu pada SKB no 8 dan 9 tahun 2006 dimaknai sebagai legitimasi kekerasan atas nama agama menggunakan konsitusi meskipun tidak valid.
Ada tiga analisa motif yang mendasari kelompok PAS melakukan pembubaran KKR.
a.       Motif hukum, yakni menegakkan kerukunan antar umat beragama dengan landasan SKB. Karena SKB tersbeut tidak sesuai peruntukannya, maka motif hukum merupakan motif kedua yang menjadi alat legitimasi pembubaran
b.      Motif sosial, yakni menjaga kerukunan. Motif ini pun mempunyai kelemahan karena tidak ada masyarakat sekitar gasibu yang keberatan dengan kegiatan tersebut.
c.       Motif agama, yang mendorong pembubaran kegiatan dengan nama kelompok Pembela Ahlus Sunnah (PAS), belum mengantongi izin sebagai ormasa. Motif agama berkaitan dengan klaim kebenaran atas nama agama. Meskipun mengalami kesalahan konstitusional dalam melakukan tindakannya, tapi kelompoknya merubah legitimasi lain yang lebih relevan. Motif agama yang dilakukan secara tidak langsung dalam rangka mencegah kemunkaran, yakni indikasi pengembangan ceramah keagamaan agama lain. Dengan membendung kegiatan ceramah agama lain di tempat publik, bisa dimaknai sebagai jihad, yakni menegakkan agama Islam. 
Kaitannya dengan peran tokoh agama sebagai pembendung konflik dari luar dan pencipta konflik, upaya pembubaran acara KKR merupakan peran tokoh agama dan lembaga keagamaan dalam menciptakan konflik keagamaan. Konflik berdasarkan pemahaman keagamaan ini berkaitan dengan pemahaman kebenaran yang monolitik, tafsir yang cenderung tektual, dan pemahaman toleransi yang kurang.
Kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok agama dan tokoh agama akan bisa diminimalisir jika sesama kelompok keagamaan terlibat dialog yang secara intens dan berkelanjutan sehingga bisa saling menghargai perbedaan keberagamaan. Seperti dalam kasus tersebut, pihak panitia dan pihak PAS melakukan mediasi bersama pihak polrestabes sampai terjadinya kesepakatan untuk menghentikan acara KKR.
Akan tetapi, sangat disayangkan mediasi ini hanya memberatkan pihak KKR karena kesalahan miskoordinasi, akan tetapi tidak memberikan peringatan kepada PAS karena melakukan kesalahan fundamental berupa penghalangan kegiatan keagamaan warga negara yang diatur konstitusi, dan legitimasinya berdasarkan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 tidak bisa dijadikan sandaran melakukan pembubaran.
Atas aksi intoleransi tersebut, Walikota Bandung meminta pihak kepolisian menyelidiki adanya dugaan pelanggaran HAM dalam aksi pembubaran KKR tersebut. Sesuai UU No 17 tahun 2013 mengenai keormasan, disebutkan bahwa ormas dilarang menebar rasa permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan.  Oleh sebab itu, Pemkot Bandung menjatuhkan 2 sanksi terhadap ormas PAS yakni berupa tahap persuasif dan pelarangan organisasi. Tahap persuasif yang diberikan adalah walikota memberikan waktu selama 7 hari bagi ormas PAS untuk memberikan surat permohonan maaf kepada panitia KKR dan menyatakan kepada Pemkot akan mengikuti semua peraturan perundang-undangan dalam berkegiatan sebagai ormas. Jika setelah satu pekan ormas PAS menolak meminta maaf, maka Pemkot Bandung akan melarang semua kegiatan organisasi di wilayah hukum Kota Bandung. Dalam jangka panjang, Walikota bandung meminta MUI, FKUB dan FSOI untuk mengintensifkan forum dialog antar kelompok umat beragama di Kota Bandung.[12]

D. Simpulan

Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung, pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat kultural dan tidak langsung karena memberikan efek kebencian, kecurigaan, dan ketakutan terhadap pihak yang dijadikan objek kekerasan. Pijakan dasar pembubaran tersebut adalah otoritas keagamaan, dan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 meskipun tidak bisa dijadikan landasan.
Terdapat 2 kesalahan yang terjadi dalam kegiatan KKR beserta pembubaran acaranya. Pihak KKR meiliki kesalahan teknis koordinasi yang melewati batas waktu kesepakatan, sedangkan pihak KKR memiliki kesalahan fundamental berupa upaya pelanggaran UU ormas yang menebar rasa permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan dan pelanggaran HAM berupa pelaksanaan kegiatan ibadah tiap tiap warga negara.
Solusi jangka pendek konflik ini adalah mediasi untuk memindahkan lokasi KKR. Solusi jangka menenggah adalah meminta PAS meminta maaf atas tindakan intoleransinya. Dalam jangka panjang, pada sisi regulasi stake holder perlu membuat regulasi untuk menegakkan sanksi bagi ormas yang melanggar UU ormas. Adapun pada sisi sosiologis, pemerintah beserta semua ormas kegamaan untuk mengadakan dialog intensif sehingga terjalin kesaling pengertian mengenai perbedaan pemahaman keagamaan dan menjunjung toleransi dan kenyataan pluralitas keagamaan.




Daftar Pusataka


Armada, R. 2000. Agama Kekerasan; Membongkar Ekslusifisme.    Malang: DIOMA-STFT Widyasasana.
Dirdjosantjoto, P. 1999. Memelihara umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta : LKiS.
Goodman,    George  Ritzer-Douglas  J. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Mathari, R. (2012). Reportase Konflik Syiah    Sampang    Madura.
Maliki. (2004). Narasi Agung; Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya:       Lembaga Pengkajian Agama Pada Masyarakat [LPAM].
Sholeh, A. K. ( 2004). “Kekerasan Religius”. Psiko Islamika; Jurnal Psikologi dan Keislaman, Volume 1 No.2, hlm.                                           122-124.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada  Media Group.
Weber, Max. 2002.  Sosiologi Agama, (Alih Bahasa Muhammad Yamin). Yogyakarta: IRCiSoD
Wibisono, M Yusuf. Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 9 No. 2, Desember 2015

Situs Berita:
https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-buruk-akibat-perkembangan-kelompok-intoleran/
http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/
http://www.beritasatu.com/nasional/403272-kronologi-pembubaran-kebaktian-kkr-natal-pendeta-stephen-tong-di-bandung.html
http://www.rappler.com/indonesia/berita/154853-kronologi-pembubaran-kebaktian-natal-sabuga-bandung
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/12/07/ini-10-pernyataan-ridwan-kamil-soal-pembubaran-kkr-natal-2016-di-sabuga, diakses pada 31Mei 2016, pukul 17.00 wib
www.rappler.com, http://www.rappler.com/indonesia/berita/155109-ridwan-kamil-sikap-ormas-pas-sabuga





[1]Laporan Yenny Wahid, direktur Wahid Institute atas survei kemerdekaan beragama dan berkeyakinan  (KBB) tahun 2016, di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia, Kota Depok, Kamis 16 Februari 2017. Lengkapnya di situs babe.news,  https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-buruk-akibat-perkembangan-kelompok-intoleran/, diakses pada 31 Mei 2017 pukul 16.00 wib
[2] Laporan ini diambil dari situs Indonesian Conference on Religion and Peace. Berita lengkap bisa diakses di http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/, diakses pada 31 Mei 2017 pukul 16.15 wib
[3] Pradjarta Dirdjosantjoto, Memelihara umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta : LkiS, 1999, hlm. 23.

[4] www.beritasatu.com tentang kronologi pembubaran KKR di Sabuga, 6 Desember 2016 oleh kelompok Pembela Ahlu Sunnah (PAS),  http://www.beritasatu.com/nasional/403272-kronologi-pembubaran-kebaktian-kkr-natal-pendeta-stephen-tong-di-bandung.html
[5] M Yusuf Wibisono, Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 9 No. 2, Desember 2015 hlm. 191
[6] Novri Susan, Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada  Media Group, 2009), h. 110-114, dalam M. Yusuf Wibisono, ibid.
[7] Max Weber, Sosiologi Agama, (Alih Bahasa Muhammad Yamin), Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
[8] M. Yusuf Wibisono, Op.Cit.
[9] George  Ritzer-Douglas  J. Goodman,     Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2005).
[10] Pernyataan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat bisa dibuka di situs rappler.com tentang kronologi pembubaran kebaktian natal sabuga bandung, http://www.rappler.com/indonesia/berita/154853-kronologi-pembubaran-kebaktian-natal-sabuga-bandung, diakses pada 31 Mei 2017 wib
[11] Penyataan Ridwan Kamil tersebut diunggah melalui facebook pribadinya karena dirinya berada di luar kota. 10 pernyataan Ridwan Kamil dikutip oleh pikiran-rakyat.com, hak beribadah adalah hak fundamental yang dijamin pancasila dan UUD, menyesalkan terjadinya miskoordinasi, menyesalkan adanya intimidasi, dan membolehkan kegiatan keagamaan di fasilitas publik selama kegiatannya insidentil. http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/12/07/ini-10-pernyataan-ridwan-kamil-soal-pembubaran-kkr-natal-2016-di-sabuga, diakses pada 31Mei 2016, pukul 17.00 wib
[12] Diakses dari situs www.rappler.com, http://www.rappler.com/indonesia/berita/155109-ridwan-kamil-sikap-ormas-pas-sabuga, pada 31 Mei 2017 pukul 18.00 wib 

0 komentar:

Posting Komentar