Sebuah Catatan Kegelisahan
foto aksi massa di UIN Bandung 2011 |
Terkadang aku berpikir kenapa aku harus terus berjuang
Di saat para aparat korupsi semakin
meajalela dan menjadi jadi, para mavia melakukan penyimpangan peraturan penuh
konspirasi, para pemuda pasrah menatap masa depan penuh frustasi, para awak
media mempelintir keadaan, para mahasiswa lupa diri, menghabiskan bangku
sekolah dengan kesilapan penuh kenyamanan yang sesaat kemudian berubah menjadi
tragedi pada jeruji pekerjaan dengan modal selembar ijazah tanpa kualitas yang
jelas.
Bersama kawan kawan aku berteriak, perpekik
panas dan kadang menguras waktu dan tenaga, masuk ke lorong-lorong jalanan,
menyaksikan pedihnya anak funk dan tukang asongan, para pedagang kaki lima yang
saban hari saban berdesak mencari penghidupan, tukang becak, tuna wisma,
para pengemis bertaburan.
Sesekali masuk merangsek ring ring kawat
berduri, sesekali berkumpul bersama para intel kodim, para birokrat, merangsek
tulisan di surat kabar dan koran memengaruhi kebijakan, bersama-sama
mendampingi sawah tergusur bersama bendungan, bersama iringan pasukan
yang saban hari saban berganti, bergerus tenaga dengan materi hingga modal
tersisa tinggal keberanian, nyawa, dan inspiasi.
Sementara tunas baru tumbuh, orang lama
malah layu hilang berganti. Rezim beganti-ganti. Tapi perubahan tetap itu itu
juga, berada pada lingkaran sistem akrobat yang sama. Para pedagang dan kaum
miskin kota tetap saja bergeliat menghabiskan sisa umurnya dengan tawakal dan
kerja seadanya. Para buruh pabrik saling sikut bekerja mengejar promosi, buruh
negara bekerja melakukan program dalam rangka menghabiskan uang negara, saling
hujat kadang menjilat mengejar kursi istana.
Sementara para pengkhotbah, para aktivis,
para pegiat hukum dan keailan dilanda dilema antara keyakinan menyuarakan
keadilan, berhadapan dengan kenyataan lupa bahwa perut telah lama tak diisi
selain rokok dan secangkir kopi. Menyuarakan keadilan kepada sesama,
penghidupan sendiri tak terlaksana.
Sebagian konsisten meskipun diasingkan atau
hidup pas-pasan. Sebagian main mata dengan para pembuat kebijakan. Sebagian
bersuara lantang, sebagian lagi diam mencari aman, sebagian lagi malah melacur
untuk sekedar mengisi sesuai nasi hari ini dan sebongkah kekecewaan atas
petentangan dasar manusia yang tak terhindarkan sebagai sabab musabab masalah
yang ada, semenjak perebutan sumber ekonomi, perebutan relasi politik,
perebutan nilai-nilai pembenaran atas berbagai kepentingan.
Mungkin. Mungkin itulah kegelisahan yang
layak diutarakan saat perubahan tak kunjung terang. Bahkan hingga satu titik
ekstrim berkata, untuk apa terus dalam barisan saat semua kebutuhan tercukupi,
untuk apa memekikkan nilai kemanusiaan yang kini berada dalam museum kata-kata
usang, untuk apa terus melawan penindasan sementara yang lain mengunting dalam
lipatan untuk memupuk kekayaan.
Tapi pertanyaan itu pula akan sebanding
dengan kenyataan kenapa aku dilahirkan? Kenapa aku diberikan kesadaran? Dan
kenapa aku diberikan bola mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan
anggota badan untuk melakukan gerakan, dan nurani untuk merasakan bahwa itu
semua adalah titipan, sekaligus penebus atas nikmat kenapa aku diberikan
kebahagiaan melihat dunia penuh kemerdekaan. Saat terlahir dengan senyuman,
mungkin saat itulah perjuangan atas hak-hak terrampas, kedilan tergilas,
kemanusiaan yang kandas, menjadi penebus kenapa aku harus mati dengan senyuman
sebagai martir yang dikirimkan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar