Kemandirian Solusi Macetnya Politik Nasional
Iji Jaelani[1]
ilustrasi politik nasional |
Dalam demokrasi yang terjadi sekarang ini, kebebasan berekspresi
di ruang politik adalah keniscayaan yang tidak boleh dilanggar. Melanggar
kebebasan berekspresi dimaknai sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai
demokrasi itu sendiri karena suara demokrasi adalah suara rakyat. Begitu pun
sebaliknya, rezim yang memasung kebebasan berekspresi dinilai sebagai rezim
yang diktator, fasis, atau pun otoriter.
Kasus yang paling menyedot emosi massa dan sistem pemerintahan
sekarang ini misalnya adalah dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki
Tjahya Purnama dan polemik pendirian khilafah Islamiah oleh Hizbut Tahrir
Indonesia. Pada kasus kedua merupakan quo vadis ekspresi agama di negara demokrasi,
di mana atas nama demokrasi HTI menyuarakan khilafah mengganti NKRI dan
demokrasi itu sendiri.
Membongkar Akar Masalah: Demokrasi itu Sendiri Bermasalah
Atas nama demokrasi, kasus dugaan penistaan itu terjadi hingga
aksi berjilid jilid dan aksi tandingan yang serupa. Atas nama demokrasi pula
HTI mengutuk demokrasi. Rasionalitas semacam itu dalam mencapai tujuan tentu
sah sah saja, terlebih di era teknologi, rasio hanya dijadikan alat untuk
mencapai tujuan.
Rasionalitas instrumentalitas merupakan merupakan bagian dari
sistem industialisasi, anak kandung kapitalisme, dan tentunya demokrasi itu
sendiri yang menjadi masalah: demokrasi liberal! Untuk mencapai tujuan politik,
seseorang boleh menggunakan media apapun, baik agama, media, budaya, serta boleh
dengan cara apapun, baik sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan. Dengan
demikian, maka muculnya gerakan gerakan keagamaan dan gerakan gerakan politik
seperti di atas jelas bagian dari skema demokrasi liberal itu sendiri yang
dijalankan oleh pihak pihak yang berkepentingan.
Karena logika instrumental tersebut dan karena demokrasi liberal
tersebut, tidak heran jika atas dasar ambisi politik seseorang atau sekelompok
orang menggunakan cara politik yang rasis dan sektarian.
Fenomena menguatnya issue elit adalah skema bubble politik (gelembung politik), yakni masalah yang mengembang
tapi tidak pokok, hampa seperti gelembung di permukaan. Sejatinya, bubble politik merupakan ekses
dari demokrasi liberal karena kebebasan beragama dan kebebasan berpartai
politik menemui kebuntuan dalam menuntaskan persoalannya masing masing. Agama sebagai jalan keselamatan dan spirit perdamaian dan
perubahan sudah lumpuh dan kehilangan fungsinya, diganti menjadi komoditas
politik. Begitu pula partai politik sering menggoda agama untuk meraih
kekuasaan, bukan mengambil spirit keagamaan untuk mendorong percepatan
perubahan.
Di tengah tempaan pusaran demokrasi neoliberal, sosio-ekonomi masyarakat
Indonesia masih menyisakan sisa-sisa feodal dan kolonial. Feodalisme menandakan
adanya sistem kapitalis birokrat, yakni kaum birokrat yang mencari rente dari
kekuasaan, bukan dari bisnis seperti kapitalis sehingga menyebabkan banyak
pejabat yang korup dari pusat hingga daerah, preman preman berjubah, dan ormas
preman yang fasis.
Pun pada sisa kolonial, Indonesia tidak sempurna menjadi negara
kapitalisme dalam persaingan pasar sehingga lebih cocok disebut pasar ketimbang
produsen. Kenyataan ini memunculkan mentalitas konsumtif ketimbang produktif di
tengah kepungan perusahaan multi nasional. Pada sisi mentalitas, penjajahan
atas fisik dan mental bangsa Indonesia selama 3,5 abad menyiskan sikap rendah
diri. Faktanya, menggunakan simbol Barat dan Arab lebih bangga ketimbang jati
diri bangsa sendiri. Konsumerisme, westernisasi, arabisme, dan inferiorisme
merupakan kebanggan bangsa yang tidak percaya pada martabat bangsa sendiri.
Bagaimana Jalan Keluar dari Demokrasi Liberal Sekarang Ini
Di tengah kepungan musuh bersama itu, kemajuan berdemokrasi bisa
dicapai dengan memajukan corak ekonomi politik karena demokrasi sangat
dipengaruhi oleh sistem itu. Selama wataknya kapitalistik, model demokrasi
apapun akan digunakan untuk mengambil rente/ akumulasi keuntungan.
Dalam kontestasi sekarang ini, perpindahan aturan KK ke IUPK
Freeport misalnya, adalah bagian penting perjalanan kedaulatan negara, di mana
semua kegiatan ekonomi baik lokal maupun multi nasional harus tunduk pada
konstitusi. Pada skala mikro. Pada skala mikro, berdaulat adalah negara tidak
takut atas segala macam intimidasi, diskriminasi, korupsi, dan ekstrimisme.
Begitu pula berdikari, dalam skala makro di antaranya tumbuhnya
BUMN, BUMD, dan industri nasional yang sehat dan percayanya negara pada
kekuatan masyarkat sendiri ketimbang impor. Pada skala mikro, muncul dan
berkembangnya BUMDes, agroindustri dan ekonomi kreatif, serta pendeknya saluran
distribusi hingga harga murah bisa dinikmati semua. Adapun berkepribadian
adalah tumbuhnya spirit budaya nasional serta hilangnya mentalitas pejabat
pengejar rente dari jabatannya dan reformasi birokrasi yang melayani dan anti
pungli .
Dalam kontestasi pilkada serentak yang tidak akan lama lagi
diselenggarakan, setiap politisi perlu memajukan proses kampanye politik dari
kampanye tradisional melalui pendekatan kedaerahan, agama, dan popularitas ke
kampanye politik maju melalui serangkaian program strategis bagi rakyat,
terutama kemandirian sektor pokok seperti pangan, pendidikan, dan pemerataan
ekonomi produktif. Jika kemandirian dijadikan acuan kebijakan strategis, maka
kemacetan kemacetan politik seperti di atas tidak akan mendapat tempat di bumi
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar