Negara, Garis, dan Titik di Antara Benang Kusut
Negara, Garis, dan Titik |
Menyoal ketiga hal itu merupakan hal yang
mungkin bisa dibilang tidak perlu bahkan sia-sia kaena tidak ada titik temu di
antara ketiganya. Mungkin juga iya, ketika premis awal merupakan kaukus
politik, sedangkan yang kedua dan yang terakhir merupakan domain maatematika.
Bagaimana mungkin persoalan politik yang sangat relatif berhubungan dengan matematika yang serba pasti.
Hal ini sempat mengganggu pikiran, bagaimana mungkin seoang yang
buta bisa menjadi membaca tulisan (sebelum munculnya herioglif), seorang yang
lemah otak bisa menciptakan lampu pijar, bahkan seorang yang cacat bias
memimpin negara? Sama halnya dengan pertanyaan bagaimana mungkin matematika
bisa meramal masa depan, survei bisa memprediksi kemenangan politik (meskipun
itu semu), dan arah angin bisa menentukan hujan?
Atau mungkin dengan logika yang lain: dunia ini terlalu
kompleks untuk dipikikan, stress menghadapi pesoalan, atau bisa jadi bunuh iri
menghadapi ketakutan masa depan (paahal itu belum tentu terjadi), seolah hdiup
ini sangat umit, tidak ada titik temu sama sekali.
Sederhananya, bagaimana mungkin di satu sisi ada seorang yang
dengan keterbatasan mampu menghadapi persoalan serius seperti negara, tapi di
sisi lain terdapat anak manusia yang hidup serba kecukupan gagap menghadapi
kenyataan: depresi, syok, frustasi, putus asa, dan mati rasa..
Kenyataan yang serba kompleks dan penuh teka-teki, jika diamati,
merupakan rangkaian simpul-simpul kehidupan yang bisa diramu dan iajut.
Permasalahannya, polanya bagaimana, bahannya apa, tjuannya apa?
Sempat terpikir, jika memang kenyataan ini adalah angkaian ruang
dan waktu yang dimiliki semua manusia, lantas kenapa tiak semua mampu
menghadapi keduanya secara jeli dan pasti. Tidakkah semuanya berawal dari
satu inti yang sama, dan tiakkah semuanya memiliki uang dan waktu yang sama?
Jika semua memiliki asal, tidakkah itu titik. Dan jika semua
memiliki jembatan, tidakkah itu garis. Jika memang matematika adalah ibu
pengetahuan, tidakkah kalkulasi kepastian titik dan garis ini mampu menjadi
pola? Pola kalkulasi keuntungan ekonomi, pola strategi politik, pola hidup yang
sehat, pola manajemen social, dan pola-pola lain. Jika garis merupakan
akumulasi dari bebagai titik yang saling betemu, mustahilkah ia mampu
menciptakan garis-garis baru? Garis perjuangan, garis hidup, garis keturunan.
Jika titik ini mampu konsisten dengan hakikatnya sebagai sebuah nilai terdasar,
tidakkah ia mampu menciptakan lukisan indah, metode ketahanan pangan, titik
pijakan berbudaya.
Maka pertanyaannya, tidakkan titik, garis, dan negara ini
merupakan kesalinghubungan dengan polanya sendiri? Kompleksitas yang terjadi
dalam sebuah negara merupakan akumlasi dari garis politik, garis ekonomi, garis
budaya, garis sosial, dan gais-gairis sub sistem lainnya. Tidakkah itu
merupakan kombinasi yang menakjubkan??
Dari hal ini, dapat ditarik satu aras yang sama tentang
pengelolaan ngara. Pada dasarnya Negara bukanlah sesuatu hal yang jahat, begitu
pula dengan politik, perang, dan konflik. Ia meupakan titik nilai fitrah yang
bejalan melawan setiap petentangan garis yang dihadapi. Salah dalam memola
titik nilai pejuangan, salah dalam menjaga konsistensi perdamaian, salah urus
dalam mengelola administasi, salah membuat gais lurus dan zig-zag, maka ia akan
runyam, kaku, putus-putus, buntu, bahkan sesat.
Jika ditarik sejauh mungkin, kemanakah titik dan garis ini akan
berujung? Jika langit merupakan deretan dari ruang kosong yang diisi oleh
titik, imanakah ujung langit? Jika perjuangan ini merupakan nilai yang
konsisten, dimanakah ujungnya? Jika dunia dan jagat raya ini merupakan rajutan
dari berbagai garis dan titik, dimanakah akhirnya? pada posisi inilah garis
terakhir adalah tak hingga, dan garis awal adalah titik yang intinya juga tak
hingga kecilnya. Posisi titik, garis, tak hingga merupakan misteri matematika
yang menjadi pola kepastian hidup manusia yang terbatas dalam menjalankan nilai
ketidakterbatasan Tuhan.
Posisi Negara dalam hal ini hanyalah bagian dari pola
titik-garis yang dilalui sebagai sebuah keharusan sejarah. Begitu pula dengan
dinamika politik yang kental menjelang pilpes 9 Juli mendatang, hanyalah
merupakan satu aras yang berasal dari satu pola manajmen menuju kesejahteraan
rakyat. Kegagalan menghadapi momentum politik mungkin saja tidak menentukan
hidup seseorang, tapi ia akan menjadi tarikan garis dalam menghaapi Indonesia 5
tahun ke depan. Semoga tidak salah titik, tidak salah garis, tiak salah dalam
membangun pola bebangsa dan bernegaa yang menjamin kesjahteraan rakyat sebagai
bagian dari nilai-nilai ketuhanan yang tak hingga. Semoga..
0 komentar:
Posting Komentar