Sejarah Besar Bangsa Indonesia di Tengah Kepungan Tantangan Global[1]
Iji Jaelani[2]
sejarah besar bangsa Idonesia |
Sejarah
Indonesia adalah sejarah gugusan pulau pulau, sejarah kebhinekaan, sejarah
maritim, sejarah globalisasi, sejarah kaum kosmopolitan. Dari negeri inilah
kerajaan kerajaan dan komunitas dari belahan dunia lain datang dan berkembang
membentuk satu akulturasi baru, baik kelompok Hindu, Budha, Islam,kristen.
Begitu juga dengan Etnis yang datang dari Gujarat, Semenanjung Arab, China,
bahkan negeri-negeri Barat yang datang.
Dari
pergumulan antar budaya dan antar pulau ini kemudian lahir dan berkembang kerajaan
besar Sriwijaya, Majapahit, Demak,
bersentuhan dengan perang dunia II, kolonialisasi, globalisasi gaya
baru, hingga nasionalisasi dan egalitarianisme hingga munculnya NKRI. Karena
egalitanianisme itulah kemudian para pendiri bangsa ini memilih Bhinneka tunggal ika sebagai selogan kesatuan, yaitu
berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Sebagai
negara kepulauan, terdapat beberapa pulau yang besar, antara lain pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Di Pulau tersebut, telah berdiri
kerajaan yang independen. Kemudian pada abad ke-13, muncullah ide untuk
menyatukan negeri-negeri tersebut dalam satu Negara yang besar dan berdaulat.[3]
Gajah Mada adalah pencetus ide brilian dan menakjubkan itu. Dengan komitmennya
ia berjuang mewujudkan impian besarnya : menyatukan negeri-negeri yang
independen dalam satu kesatuan yang kuat : akhirnya bernama Indonesia.
Dalam konteks kesejarahan nusantara, Gajah Mada
dikenal dengan Sumpah Palapa-nya. Sumpah tersebut merupakan puncak nasionalisme
bagi Gajah Mada sekaligus pertaruhan besar untuk merangkai sebuah negeri dari
berbagai negeri yang berkeping-keping. Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada
pada tahun 1331-1364, bersama Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), yaitu janji
prasetia untuk berpantang makan buah palapa sebelum seluruh kepulauan nusantara
bisa takluk di bawah kekuasaan Negara.[4]
Sikap nasionalisme yang telah di cetuskan oleh Gajah Mada pada waktu itu, pada beberapa abad berikutnya dilanjutkan oleh para
pemuda dalam melawan penjajahan atas alam nusantara hingga lahirnya gerakan
persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa kesatuan Nusantara
mendapatkan keputusan pada kongres Sumpah Pemuda di Jakarta menuju Indonesia
Raya dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahasa Indonesia. Sumpah
Pemuda ini, pada gilirannya yang menjadi cikal bakal terwujudnya sebuah
republik atau yang mashur yang nation state (Negara-bangsa)
Kolonialisasi di Indonesia
Sejak masih berstatus nusantara dan setelah
menjadi nation satate, Indonesia telah menjadi bagian
dari pergolakan yang terjadi di belahan dunia. Hubungan dengan Negara lain yang
telah terbangun dengan dunia luar, pada akhirnya membuat posisi Indonesia berada
dalam incaran kaum kolonialis. Kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda dan Ingris
ke daerah bagian Nusantara merupakan akibat dari persaingan dagang dan politik
antar negeri-negeri Eropa.
Indonesia menjadi bagian dari Negara yang
membuat bangsa lain tertarik. Kolonialisasi yang dilakukan kepada Indonesia,
bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara primadona, selain
karena faktor kekayaan alam Indonesia yang melimpah, letak Indonesia juga
sangat strategis. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bukunya
yang terkenal Madilog, menurutnya
bahwa minyak di Sumatra, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor di seluruh
dunia. Bauksit dan alumunium, keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang
kuat, keras, sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan.[5]
Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa
salah seorang penulis buku Amerika pernah meramalkan, bahwa kalau suatu Negara,
seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dan dunia, ia harus merebut
Indonesia lebih dulu sebagai sendi kekuasaannya. Kondisi yang demikian
telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain, sehingga berbagai upaya
kolonialisasi dan imperialisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan
tentang tesis tersebut.
Kedatangan Belanda masuk ke Indonesia sejak
tahun 1596 – Cornelis de Houtman di Banten - dan puncaknya terjadi pada
saat VOC yang merupakan kongsi dagang pemerintah Belanda berada di Indonesia.
VOC memulai kekejaman eksploitasinya sejak tahun 1602 di bawah komando Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, J.P. Coen, salah satu kebijakan eksploitatifnya ialah
sistem tanam paksa.
Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi Dunia
Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan
dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi telah mengikis ruang antar daerah, antar wilayah,
hingga mempersempit ruang kedaulatan antar negara. Kemajuan teknologi informasi
telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia.
Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang
menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan kecanggihan
teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari satu
Negara ke Negara yang lain.
Pada sisi
lain, globalisasi dengan basis utama teknologi merupakan gerbang mulus bagi para korporasi besar, terutama korporasi di negara-negara maju, sehingga
mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang
miskin. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi,
dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar.
Dalam gerakan global, hampir tidak ada lagi ruang bagi negara berkembang, karena yang memiliki posisi daya tawar kecil yang didominasi oleh negara besar dan korporasi
besar, baik pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, hingga akumulasi
modal. Pada posisi inilah negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar
menggiurkan bagi para pelaku modal. Atas keterbatasan position inilah pada
akhirnya Indonesia memiliki ketergantungan yang tidak sedikit pada korporasi trans nasional dan negara maju
hingga lumpuhnya kedaulatan dan kemandirian bangsa. Akhirnya, Indonesia tengah
berada dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global yang tak bisa dielakkan, sehingga kebijakannya, baik
dalam skala nasional maupun internasional tetap tidak bisa dipisahkan dari
aturan main yang telah ditentukan Negara-negara besar.
Negara-negara pusat ( pemodal) memainkan peran
strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui
lembaga-lembaga internasional. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade
Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi
regional, seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement).
Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama
yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan inernasional. Perkembangan politik
internasional telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga
potensial untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam
menentukan masa depan Negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara atas warganya
sendiri semakin kecil, digantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan
struktur sosial dan politik sebuah Negara.
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap
Negara lain, sehingga kemedekaan yang sepenuhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang
pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya,
telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia telah
tunduk pada hukum pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital,
sehingga tidak memiliki kemerdekaan yang sepenuhnya.
Perjuangan Menjaga Keutuhan NKRI dari Sistem yang Menindas
perjuangan menjaga keutuhan NKRI |
Globalisasi dan imperialisme sebagai penjajahan gaya baru merupakan suatu
keniscayaan yang tidak bisa dibantah. Di antara kepungan kapital yang merasuki
berbagai unsur kehidupan ini, tak ada yang bisa dilakukan kecuali dengan cara
memperkuat rasa kecintaan terhadap tanah air (patriotisme), meningkatkan rasa
nasionalisme, memiliki kemandirian dan kedaulatan serta kepribadian, dan memiliki
kapasistas untuk mempercepat akses informasi komunikasi, serta melakukan
kepekaan terhadap realita sosial, persekian hari, bahkan persekian detik.
Pada sisi lain, sejarah telah memberikan pelajaran bagaimana gerenasi
pendahulu sejak zaman kerajaan hingga zaman kemerdekaan, bangsa Ini telah
tumbuh menjadi bangsa yang besar, mengimbangi era globalisasi tahap awal,
hingga jatuhnya kedaulatan karena penjajahan.
Sebagai bagian dari Indonesia, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang besar untuk
merespon kondisi Indonesia di tengah ancaman politik-ekonomi global
ini. Ide dan aksi-aksi rasional mahasiswa menjadi harapan bangsa ini, agar kembali
menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki kemerdekaan yang penuh. Diam atas
kondisi ini, bagi mahasiswa sama halnya
lari dari tanggungjawab dan membiarkan bangsa ini tercekik secara perlahan-lahan.
Generasi lama telah selesai. Kini
bangsa Indonesia masuk pada generasi bonus demografi, yakni jumlah pemuda yang
lebih banyak di banding generasi tua. Pada satu sisi, bonus demografi ini bisa
menjadikan Indonesia emas sepuluh hingga dua puluh tahun berikutnya, akan
tetapi jika tidak bisa memaksimalkan perannya di Republik ini, maka bonus
demografi ini akan semakin memperpanjang beban dan mimpi buruk Indonesia untuk
menanggung generasi gagal.
Korupsi, konflik SARA, pencemaran
lingungan, dan ekstrimisme agama kini menjadi ancaman dari dalam. Pada kondisi
inilah mahasiswa sebagai iron stock dan agen social of change dituntut untuk
bisa mencari jalan keluar dari berbagai kondisi di atas.
[1] Disajikan sebagai bahan materi
“Keindonesiaan” pada Orientasi Mahasiswa Siyasah (ORMASI) 2015
[2]
Penulis adalah mahasiswa siyasah angkatan 2009-2013
[3]
Dr. Purwadi,
M.Hum, Jejak Nasionalisme Gajah Mada : Refleksi Perpolitikan dan
Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru (Jogjakarta,
Diva Press,2004), hlm. 11
[4]
M. Kholid
Syeirazi, “The Death of Nationalisme? Problem dan Tantanganya Bagi
Paham Kebangsaan Indonesia” dalam Majalah Tradem, edisi 5,
April-Juli 2003, hlm. 71
[5]
Tan Malaka, Madilog (Jakarta,
Pusat Data Indikator, 1999), hlm. 25
0 komentar:
Posting Komentar