Iji Jaelani[1]
alam pedesaan |
Undang-undang Desa yang disahkan pada 8 Desember 2013 merupakan
sejarah baru dalam penguatan eksistensi
desa sebagai benteng pertahanan paling akhir peningkatan kehidupan bebangsa dan
benegara yang kokoh dan berdaulat. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menggantikan
UU No 32 no 2004[2] tersebut
merupakan kemajuan dan komitmen DPR mengenai penguatan Desa dalam sub sistem
kenegaraan, sekaligus merupakan political
will dalam meningkatkan kesejahteraan desa.
Tentunya, amanat konstitusi yang memiliki semangat
otonomi dan penempatan desa sebagai subjek pembangunan ini patut mendapat
apesiasi. Hal ini karena di dalamnya UU ini memberikan posisi penting desa
dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa yang sebelumnya selalu
pembangunan diprioitaskan pada area perkotaan. Begitu juga kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis di
dalamnya memberikan peran strategis desa dalam membangun desa sesuai dengan
kapasistas dan kebudayaannya.
Angin segar ini bisa bisa kita bandingkan dengan
kodisi pertumbuhan dan pekembangan desa pra Undang Undang Desa ini keluar.
Dalam sejarahnya, desa yang berada pada hierarki terbawah sistem ketatanegaraan
Indonesia, selama ini lebih ditempatkan sebagai obyek daripada subyek
pembangunan. Sebagai objek pembangunan, desa diposisikan sebagai bahan kajian, pilot
project kebijakan, sumber dukungan politik, sumber legitimasi para penguasa
dan eksploitasi para pengusaha.
Sejarah Desa dalam Sistem Ketatanegaaan Indonesia
Potret desa pada awalnya merupakan kumpulan warga yang
memiliki kesamaan budaya, sumber daya alam dan mata pencaharian, memiliki
kekhasan dan otonominya dari komunitas desa lainnya. Kondisi ini berubah ketika
munculnya era kerajaan, desa sendiri mulai kehilangan otonominya mengenai sumber
daya alam, semangat kegotong-royongan, sistem sosial yang penuh kekerabatan dan
toleransi ketika ia diikat menjadi sebuah kerajaan Begitu pula pada era
kemerdekaan, teutama orde baru, desa mulai kehilangan otonominya dengan
disahkannya UU no 5 tahun 1979[3].
Kondisi yang sama terjadi pada era reformasi, pengaturan tentang desa yang
dimuat paa UU No 22 tahun 1999[4]
dan UU No 32 no 2014, hanya dimuat dalam
pasal-pasal yang sangat singkat[5].
Karena faktor sejarah tersebut, kembalinya otonomi desa sebagai tonggak
pembangunan nasional merupakan harapan dan ekspektasi yang besar bagi semua
kalangan, termasuk di dalamnya pemerintah eksekutif, legislatif, dan masyarakat
itu sendiri. Spirit otonomi tersebut tentunya ditjukan tidak dalam rangka
behadap-hadapan dengan kebijakan di atasnya, atau berhadap hadapan dengan
kebudayaan perkotaan melainkan bergandeng tangan untuk kemajuan bersama dengan
karakter budaya dan potensi yang berbea-beda.
Kekuatan Undang-Undang Desa
undang undang desa |
Secara
general, terdapat beberapa loncatan besar yang digulikan pemerintah dngan
diberlakukannya Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014. Pertama, untuk
mempercepat pembangunan Desa, maka tiap Desa mendapat alokasi dana pembangunan
sebesar 1 Milyad hingga 1,5 Milyar. Sedangkan jumlah Desa seluruh Indonesia berjumlah
79.702 Desa[6].
Jika diasumsikan setiap Desa hanya menerima dana pembangunan sebesar satu
Milyard, maka setiap tahunnya akan bergulir Dana Pembangunan untuk Desa sebesar
79,702 Trilyun- 80 Trilyun/tahun.
Kedua, penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa
bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota
ditetapkan oleh APBD. Dalam hal ini, kepala desa atau yang disebut lain
(Nagari) memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan. Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat
desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh
kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Selain penghasilan tetap yang dimaksud,
Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan
lainya yang sah.[7]
Ketiga, penguatan kewenangan kepala desa,
yakni dalam UU Desa tersebut akan ada pembagian kewenangan tambahan dari
pemerintah daerah yang merupakan kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan
pendapatan desa.[8]
Keempat,
Undang Undang Desa ini menetapkan penambahan masa jabatan kepala desa yakni 6
tahun, begitu juga dengan pergantian kepengusan, Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut
(pasal 39). Hal Ini berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya yaitu
UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa menjabat paling
banyak 2 (dua) kali masa jabatan. Demikian juga dengan masa jabatan Badan
Permusyawaratan Desa, mereka bisa menjabat paling banyak tiga kali masa
jabatan, baik secara berturut turut maupun tidak berturut-turut.
Kelima, bertambah
dan penguatan fungsi badan permusyawaratan desa. Menurut pasal 55 UU Desa yang
baru, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Desa, serta melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal
ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana dalam pasal 209
disebutkan Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Tantangan Pelaksanaan Undang Undang Desa
Kekuatan
Undang-Undang Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya juga
memiliki resiko yang besar jika tidak diantisipasi sejak dini. Hal ini bisa dilihat
dari faktor ekonomi-politik dan faktor histoisitas program. Secara ekonomi politik, kondisi desa yang
memiliki semangat homogen dan kekeluargaan di satu sisi bisa menjadi kekuatan
besar dalam membangun kemandirian dan kebersamaan. Akan tetapi, di sisi lain
cendeung lebih menghindari potensi konflik meskipun di dalamnya memiliki resiko
hukum yang besar, selain juga semangat feodalistik yang susah dilepaskan dari
karakteristik pedesaan. Hal ini misalnya dari penyerahan sepenuhnya pengawalan
program pada figuritas pemimpin, selain juga karena masyarakat cenderung
mengabaikan pola pemikiran yang rasional dan modern. Kaitannya dengan relasi
politik, kondisi ini cenderung rentan akan melemahkan partisipasi bersama, turut
meningkatkan hegemoni politik, dan lemahnya SDM yang siap memiliki kapasitas
daya saing tinggi dan visioner.
Turunan
dari perspektif tersebut, pemerintah desa memiliki tantangan tersendiri,
terutama mengenai akuntasi, akses informasi, dan sumber daya manusia yang
modern. Dalam persoalan akuntansi misalnya, kepala desa sebagai pejabat pembuat
komitmen dituntut untk memiliki
pemahaman akuntansi yang baik, terutama mengenai pengelolaan keuangan. Dengan
pemahaman akuntansi yang baik, akan muncul manajemen pengelolaan keuangan yang
terukur, objektif, transpaan, dan akuntable.
Tantangan
kedua dan sebagai salah satu poin yang paling krusial dalam UU Desa, adalah
terkait alokasi anggaran untuk desa, di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang
Keuangan Desa. Menurut Komisi II DPR RI Budiman Sujatmiko, jumlah alokasi
anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar
dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan
masyarakat desa. Diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar
1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU desa yaitu, 10 persen
dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkatdesa sebesar Rp. 59, 2
triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4
triliun. Jadi diperkirakan total dana untuk desa adalah Rp.104, 6 triliun yang
akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia[9].
Anggaran tersebut
tentunya akan mempercepat akselerasi pembangunan desa yang di dalamnya terdapat
dusun-dusun yang selama ini anggaran pembangunannya lebih banyak dari dana APBD
kabupaten atau provinsi. Pembangunan desa akan mempercepat perputaran roda
ekonomi di desa yang nantinya juga akan mempengaruhi wilayah-wilayah di
atasnya. Demikian harapan yang disandarkan pada penetapan UU Desa ini.
Adapun
tantangan ketiga adalah managerial SDM perangkat desa yang mampu membuat skema
pembangunan dengan basis kapasitas dan kebudayaan setempat. Tidak dapat
dipungkiri, pembangunan kapatisas SDM menjadi faktor penentu sukses tidaknya
semangat otonomi dan kepeloporan desa. Kapasitas ini pulalah yang akan
membedakan pelaksanaan UU Desa sebagai sebuah program, atau hanya sebagai
semangat project. Jika aparat desa memiliki kelmahan kinerja dalam pengelolaan
keuangan, hal ini bisa menjadi ancaman
serius. Potensi tindak pindana korupsi layaknya penyalahgunaan dana bisa saja
terjadi. UU Desa juga akan memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan,
ketika kebijakan yang diambil pemerintahan desa dituding tidak merata. Kepala
desa bisa menjadi sasaran demo jika transparansi dalam penggunaan anggaran tak
melibatkan publik
Banyak
pihak yang melihat pelaksanaan Undang Undang Desa ini dari sudut pandang yang
optimis. Selain karena ada kekhawatiran munculnya semangat project, hal ini bisa dilihat dari catatan program PNPM yang akan
habis tahun 2015. Setelah
digulirkannya program PNPM guna mengentaskan kemiskinan pada tahun 2008,
berbagai kemajuan telah dicapai. Meskipun, pada saat yang sama, keberhasilan
itu masih dapat dipertanyakan dan diperdebatkan mengenai ukuran kemajuan yang
dimaksud.
Dalam potret
program yang telah digulirkan PNPM, angka kemiskinan tidak lalu turun dalam
angka yang cukup signifikan. Menurut Iskandar Zulkarnain, Ketika program ini
diluncurkan pada tahun 2008, angka kemiskinan berada pada angka 11,8 % dan
ketika program ini akan berakhir pada tahun 2015, angka kemiskinan menunjukkan
pada angka 11,27 %[10].
Sungguh ironis, kurun waktu program pengentasan kemiskinan yang memakan waktu
enam tahun itu, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,53%. Tentunya
program PNPM yang akan berakhir ini pun patut mendapatkan evaluasi total jika
pelaksanaan UU Desa ingin memiliki ekspektasi besar mengenai desa yang mandiri
dan berdikari.
Berkaca dari
program PNPM tersebut, tentunya wajar jika terdapat petanyaan mengenai
bagaimana pola pengelolaan dana yang demikian besar itu. Begitu juga pertanyaan
lain mengenai perlukah pendampingan dari lembaga luar ataukah tidak, terutama
mengenai RPJMDes, Perdes, dan BUMDes. Begitu pula dengan pola pendampingannya,
berapa lama waktu penampingannya hingga masyaakat desa bisa benar-benar mandiri
dalam menyikapi berbagai tantangan?
Resolusi
Berdasarkan kekuatan dan tantangan di
atas, tentunya banyak kalangan yang sangat empati an responsif, terlebih aparat
penegak hukum, stake holder, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. UU Desa
yang bertujuan untuk memosisikan desa secara mandiri dan memiliki kembali
otonominya, dipandang perlu adanya komitmen bersama untuk saling mengawal alam
rangka mewujudkan desa yang berdikari, baik di bidang pangan, energi, sosial, budaya,
dan politik. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa memiliki sejumlah hak
tradisional yang berfungsi untuk menekan jarak antara kebijakan pemerintah desa
dengan kebutuhan rakyatnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menegaskannya
dalam kewenangan desa berdasar hak asal-usul (rekognisi) dan kewenangan lokal
berskala desa (subsidiaritas).
Berbekal dua kewenangan di atas, desa
harus mampu melepaskan dirinya dari ketergantungan dan patronasi pemerintah
supradesa. Selama ini perumusan program kerja pemerintah desa banyak
mendasarkan diri pada kontruksi desa yang dibangun oleh pemerintah supradesa. Misalnya,
untuk merumuskan program kependudukan, desa masih merujuk ke data Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, begitu juga dengan rumusan program pendidikan,
desa merujuk pada data Dinas Pendidikan. Pemerintah desa tidak memiliki rujukan
data akurat yang dioleh oleh mereka secara mandiri.
Kondisi itu menunjukkan desa belum mampu
mengenali dirinya secara menyeluruh. Fakta-fakta yang terjadi di desa masih
dianggap oleh pemerintah desa sebagai peristiwa harian yang tanpa makna.
Hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat desa terbangun sebatas hubungan
sosial-kemasyarakat karena perumusan kebijakan desa justru lebih banyak
melaksanakan tugas-tugas perbantuan pada pemerintah supradesa.
Konsep Desa Berdikari ingin
mengembalikan fungsi desa sebagai pelembagaan masyarakat sipil. Pemerintah desa
dan masyarakat desa mampu menciptakan kolaborasi kerja untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada di desa. Kolaborasi kerja bisa dimulai
melalui kerja-kerja mengenali desa sendiri. Desa memiliki kedaulatan atas data
kondisi wilayahnya sebagai data banding atas data yang dikontruksi oleh
pemerintah supradesa. Desa mampu mengaudit hasil-hasil survei supradesa melalui
Sistem Informasi Desa yang dibangun oleh pemerintah desa dan masyarakat desa.
Adapun
dari sisi tata kelola pemerintahan, kebijakan pemerintah menetapkan arah pengelolaan
pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan reformasi birokrasi, merupakan pilihan yang
rasional (rationalchoice). Salah satu
agenda besar menuju good governance dan reformasi birokrasiadalah peningkatan
profesionalisme aparatur pemerintah, baik di tingkat pusatmaupun di tingkat
desa.
Dalam
rangka peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah desa, dipandang perlu untuk
diperhatikan mengenai pengembangan kapasitas aparaturpemerintah desa dengan
prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publikseperti kebutuhan dasar
masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam menghadapibencana, kemampuan
penyiapan rencana strategis pengembangan ekonomi desa,kemampuan pengelolaan
keuangan Desa, an pengelolaan kelestaian lingkungan hidup. Untuk itu, aparatur
pemerintah desa diharapkan memahami
peran strategisnya agar belajar mendalami, menggali serta mengkaji berbagai
permasalahan dan tantangan pelaksanaan good
governance dan reformasi birokrasi ke depan, untuk dapat diterapkan secara
optimal di lingkungan kerjamasing-masing.
Penutup
Amanat
Undang-Undang Desa merupakan amanat konstitusi yang selayaknya dijunjung tinggi
dalam rangka membangun keailan sosial dan kesejahteraan bangsa. Kekuatan bangsa
ditentukan oleh kebijakan-kebijakan hukum yang responsif, visioner, dan
semangat kerakyatan yang tinggi, pelaksanaan aturan hukum yang ditaati, dan
patisipasi aktif seluruh elemen masyaakat. Ketiga hal tersebut jika bisa
bersinergi satu sama lain, akan berdampak pada terciptanya kehidupan
berkebangsaan yang kokoh dan berdaulat. Perlunya saling mendukung dan mengawal
pelaksaan Undang-Unang ini merupakan kekuatan besama, terutaman dalam menghaapi
berbagai tantangan.
Dalam
hal ini, LBH Majalengka sebagai bagian penting dari Non Goernment Oganization
yang peduli terhadap kehidupan yang taat hukum, termasuk di dalamnya sangat
responsif pada pemberdayaan masyarakat, ikut mensupport pelaksanaan UU Desa
sesuai dengan amanat konstitusi. Begitu pula mengenai tantangan kader desa yang
mumpni dalam membuat rancang bangn infrastuktur Desa serta memepercepat
kebutuhan akan kader desa yang memiliki kapasitas untuk mengelola managerial di
lapangan, LBH sebagai lembaga advokasi siap bekeja sama dengan berbagai
kalangan, termasuk di dalamnya para pembuat kebijakan, apaat pnegak hukum, dan
lembaga desa itu seniri. Kita berharap
Desa ke depan bisa menjadi faktor pelopor perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik.
[1] Anggota Divisi Kebijakan Publik dan Good Governance pada Lembaga Bantuan
Hukum (LBH Majalengka)
[2] Undang Undang No. 6 Tahun 2014
memberikan perhatian kebijakan yang lebih luas kepada desa, misalnya mengenai
desa adat, lamanya masa jabatan kepala desa, dan kewenangan desa. Misalnya,
pada UU No 32 Tahun 2004 hanya disbutkan bahwa desa hanya menyebutkan
masyarakat adat, tetapi pada UU no 6 tahn 2014 ditegaskan desa adat beserta
hak-hak yang melekat padanya. Begitu juga dengan masa jabatan yang asalnya 6
tahun dan dibolehkan menjabat kembali periode berikutnya, diperluas menjadi 3
kali masa jabatan baik berturut-turut maupun tidak. Undang Undang Desa terbaru
ini merupakan loncatan panjang dalam memperkuat posisi desa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
[3] Berdasarkan UU No. 5
Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah
merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun
1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa
diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu
hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif
dalam tatanan pemerintah.
[4] Beberapa hal yang
sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa
dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi, Undang Undang ini tidak memberikan ruang
yang banyak terhadap otonomi desa
[5] UU 22/1999
dan UU 32/2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan
hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, desa bisa disebut
dengan nama lain yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun
sayang, kewenangan desa dalam UU 32/2004 menjadi tidak mempunyai arti apa-apa
karena urusan berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tidak diidentifikasi
dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian pula urusan yang berasal dari
kabupaten/kota, ternyata banyak yang belum didelegasikan.
[6] Angka tersebut diambil dari Badan Pusat
Statistik ter-update pada 2012. Jumlah desa bisa berkurang atau bertambah pada
tahun 2014. Data ini bisa diakses pada www.bps.go.id
[7] Undang Undang No 6 tahun 2014 pasal 66
[8] Pasal 72 Undang Undang Desa No 16 Tahun
2014
[9] Diakses dari www.merdeka.com, peristiwa UU Desa Disahkan,
Dana Sebesar Rp 104,6 Trilyun Dikucurkan, diakses pada 4 Desember 2014
[10] Diakses dari Iskanar Zulkanain,
iskandarzulkarnain.com dalam regional.kompasiana.com, solusi menghadapi undang
undang desa, diakses pada 4 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar