Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Setelah Punya Kebebasan, Lalu Apa

Setelah Punya Kebebasan, Lalu Apa

Written By Iji Jaelani on Senin, 09 Desember 2019 | 01.25


Malam ini aku tak bisa tidur, bosan, ingin berteriak, ingin berbicara namun tak bisa berkata-kata. melihat TV isinya banyak berita-berita yang menggiring isu kesana kemari sementara fakta sebenarnya tak pernah disajikan televisi. seperti bongkahan gunung es, saat mereka menampilkan satu issu, maka saat bersamaan menutupi isu lainnya. aku dipaksa untuk bermain petak umpet, menyusun keping-demi keping yang sebelum kurangkai utuh, issu telah digeser ke isu lain, dan elitis pula. pasca pilpres yang berdarah-darah hanya menampilkan watak politik sesungguhnya, oligarki! setidaknya pendapatku sementara ini demikian. 

aku membuka instagram isinya banyak sekali orang pamer foto-foto pribadi. setelah aku melihatnya, lalu apa? haruskah bilang "oh...", kasih love, atau cukup tahu. beberapa menyuguhkan joke yang membuatku terhibur, beberapa memberi inspirasi, sisanya menunjukkan eksistensi diri, bahkan hal-hal privasi harus dikonsumsi menjadi sesuatu "wow.... kamu harus tahu aku lagi di sini, sedang begini, betapa tatitutnya aku...". lalu karena teman atau fotonya menarik, setidaknya mengapresiasi usahanya memberikan informasi, aku love-love love. biasanya semakin banyak love, maka semakin merasa kehadirannya dihargai orang lain. lalu,,, apa faedahnya yang lebih jauh? sampai saat ini aku juga sedang memikirkannya, selain menunjukkan perkembangan eksistensi dan narsistik yang menguat. Ada beberapa  akun yang digunakan lebih produktif, misalnya bisnis, meskipun ujung-ujungnya maknanya "kamu mau gak jadi pasar daganganku?" sayangnya aku belum niat membeli jadi scroll sebentar dan close. 

Buka facebook pun tak jauh berbeda. jika menonjolkan gambar, facebook menonjolkan cerita, banyaknya curhat atau mengeluh seperti tembok ratapan atau kata-kata doa. terus kalo kamu menderita di facebook, aku bisa bantu gitu? kagak, yang ada malah menyumbang cerita runyam di memoriku. Buka twitter, isinya lebih berbobot, lebih tawadhu ketimbang dua medosos sebelumnya, tapi sayang tak seramai medsos sebelumnya. baca-baca info sejenak, lalu close. 

Baiklah, aku tahu sebenarnya itu semua tergantung bagaimana kita memandangnya, namun aku sedang tidak membutuhkan jawaban normatif seperti itu. terlalu klise. 

aku juga tak hendak membahas media-media di atas, karena hanya sebatas instrumen atas gejala makro yang terjadi: era revolusi industri, bonus demografi, era milenial, dan hal-hal lain yang terkesan nada baru namun sebenarnya lagu lama, pertempuran para tuan, para bijak bestari, pada pedagang, dan para penguasa di lapak baru. selama coraknya masih pasar bebas, tidak menjadi sangat penting apa itu guyub dan gotong royong, seia sekata sekawan senasib sepenanggungan. 

namun aku juga tidak ingin membahas kisah klasik seperti itu karena memang itulah faktanya. aku tak mengelak, bahkan mungkin aku juga bagian dari produk yang diobral-obral agar laku di pasaran, atau aku adalah kuli yang bekerja untuk menghasilkan produk majikan. 

Sejujurnya, untuk konteks sekarang majikanku adalah negara, dan bisa dibilang aku adalah abdi negara. semua pekerjaanku didedikasikan untuk negara ini, tapi kok sesekali waktu merasa jenuh juga.  atas nama bekerja, atas nama menghidupi keluarga, atas nama tugas negara, atas nama pekerja yang baik, atas nama karir, atas nama patuh pada atasan, atas nama bla.. bla.. bla.. semua modus operandi yang ditampakkan maupun disembunyikan, aku menjadi abdi negara tapi merasa terasing dari diriku sendiri. 

Apa artinya bekerja sebagai aktualisasi sementara aku terasing dari diri sendiri? apa artinya bekerja untuk negara jika sehari-hari mengerjakan hal teknis yang tak peduli masalah negara? apa artinya bekerja untuk keluarga jika keluarga juga menjadi nomor dua. apakah bekerja untuk negara an sich, tidakkah kita bekerja untuk atasan kita? Apa artinya menegakkan demokrasi jika keseharianku mengasingkan demokrasi di lorong sepi. Jawaban yang paling diplomatis akan mudah didapat, "sabar, ini ujian", tapi aku tidak dalam rangka untuk mendapatkan jawaban itu. karena jawaban itu tak perlu dicari, dia melekat pada kenyataan yang ada, sabar adalah praktek atas pertentangan yang ada.  

Sejujurnya, aku sepi karena tinta, pena, jam kerja, keteraturan, kedisiplinan, sistematika, telah menjadi mesin yang mengendalikan kesadaranku. lama-lama jika tak segera sadar, aku pun menjadi mesin birokrasi. aku tak begitu saja menumpahkan kesalahan kepada sistem yang ada, tapi apakah semua tatanan yang ada memberikan aku porsir untuk membaca, berdiskusi, bertukar pendapat, dalam sistem yang setara, atau dalam aturan main hamba dan tuan? jika kamu bicara begitulah realita dunia kerja, "ya, begitulah realitanya, realita dunia kerja yang belum begitu setara". Ada banyak unsur yang tidak bisa dipukul rata. bisa saja ini satu puzzle, oknum, anasir, bisa saja hal lain.

Silakan kamu jawab:
Bilang saja kamu takut, takut diberi peringatan, dipecat, ditertawakan, mendapatkan lawan
Kamu memang benar-benar plin plan, tak percaya pada prinsipmu yang kuat, kamu lemah, lebih tegasnya dilemahkan oleh dirimu sendiri. 

ilustrasi: laskar pelangi
jika kamu bicara demikian, kritikanmu sangat bagus. setidaknya kamu bisa menembak salah satu dari dua lokomotif perubahan: kesadaran diri, atau prinsip, atau apalah itu. Jika kamu tidak bisa merubah lingkunganmu, maka rubahlah dirimu! Geser paradigma dari kerja untuk diri sendiri menjadi kerja untuk sosial. betul juga, memaknai apa yang kita lakukan adalah dengan cara belajar, mencintai, dan berbagi. belajar dari apapun dan siapapun karena di manapun adalah madrasah, siapapun adalah guru. Jika tidak mengerti, bertanyalah. Jika tidak memahami, dengarkanlah. ada kalanya kita harus menyerap, ada kalanya kita harys memberi. apa gunanya kuping jika tak menyerap informasi, apa gunanya mulut jika tak memberi informasi. 

Cintailah apapun yang tampak di depan wajah karena semua yang hadir adalah anugerah, maka mulailah segala sesuatu dengan indah, menggeser ambisi dan hasrat pribadi menjadi inspirasi. karena semua orang adalah guru, maka semua orang adalah murid yang perlu dididik dengan caranya masing-masing. semua orang adalah teman yang harus dihargai, semua orang adalah penting yang harus dihormati. 

jika memiliki ilmu, kebijaksanaan, dan cinta, maka satnyalah berbagi. melalui apapun. semakin tinggi ilmu dan cinta yang masuk, maka semakin banyak kebaikan yang dibagikan. semakin banyak kebaikan, maka semakin bisa mengukur diri, lebih konkrit, lebih meningkatkan jangkauan, lebih banyak manfaat kebaikan. tentu mengukur baik buruk perlu menggunakan ukuran yang konkrit agar tepat dalam menimbang, tepat dalam mengambil keputusan. 

atas semua yang kutulis ini, semuanya menjadi tidak penting, sampai membuat kehadiran kita pun penting. Birokrasi itu memiliki mesin oligarki, politik itu merebut kekuasaan, dan tren itu gejala liberal, adalah suatu keniscayaan. tugasmu adalah  masih bisa berpikir waras, merasakan kehadiran, dan berbuatlah selayaknya orang waras dalam menghadapi persoalan. 

selamat tidur!
Bandung, 01.16 WIB





0 komentar:

Posting Komentar