Bukan Badai yang Tak Datang
bukan badai yang tak datang |
Ingin ku menangkap badai,
badainya tak datang
Ingin ku menangkis hujan,
hujannya tak turun
Ternyata bukan hujan
tiada, aku tak menghadirkan jiwa
Menari dalam pilu, haru,
deru
Kumis kumis tebal,
rambut-rambut keriting
Baju lusuh, kumuh, peluh
Tanah tanah beraspal,
becek
Tukang tukang sayur, saban
petang hingga pagi
Kau masih berdiri kokoh di
tebing pinggiran kota, kepungan gedung gedung
Demi sepiring nasi,
seberkas senyuman anak sekolah dan isteri yang mendoakan
Berjuang dengan riang
tanpa lirik-lirih penyesalan
Baju baju, ikan ikan asin,
ayam, buah-buahan, gerobak, karung-karung besar
Jongko, becak, parkiran bak
jamur di musim hujan
Hilir, mudik, mobil,
motor,
Siang, malam
Saban hari
Tadi subuh kau mengakhiri
Sore-sore bangkit kembali
Sambil membayangkan 30
tahun silam, tanah ini masih harum aroma keringat ayahku yang lebih dulu
menjadi kesatria, merantau, menjadi tukang sayur demi kehadiranku dan sanak
saudara yang lahir lebih dulu
Dengan kisah yang sedikit
berbeda, aku ke sini menyaksikan bayang-bayang dalam panggung yang sama, naskah
yang sama, dengan sedikit zaman yang berbeda. Bolehkah kau melihat, aku sudah
dewasa, sudah lulus sekolah tinggi meski tak pernah kauhadiri, mengganti bahumu
untuk terus melanjutkan kisah terindah bagi isterimu dan si buah hati.
Tapi biarlah, semoga kau
tenang di sana. Pameran ini telah berganti babak. Tokoh-tokoh telah berganti
meski kisah tak jauh seperti dulu. Uh,,,, melihat tanah tanah ini rasanya jauh
lebih romantis, di antara kepungan sudut kota, pagi tampat pakaian sore pusat
sayuran untuk tetap bertahan menjalankan fitrah sebagai penyangga sandang pangan
masyarakat urban.
0 komentar:
Posting Komentar