Relasi Dialektis Agama dan Media (Studi Komparatif Kompas dan Republika)
Iji Jaelani, Program
Studi Religious Studies Pascasarjana UIN
Sunan Gunung Djati Bandung
Email:
ijijaelani14@gmail.com
Abstrak
Agama merupakan suatu kepercayaan
tertentu yang yang dianut suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan
kebenaran. Sebagai sebuah konsekuensi agama sebagai pedoman bagi manusia,
kebenaran nilai nilai ajaran agama juga perlu disebarkan kepada manusia dan
masyarakat. Pada konteks ini, komunikasi media memegang peranan penting sebagai
transmisi ajaran kebenaran. Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan
esensi keagamaan kepada masyarakat secara objektif dan empiris seringkali
muncul dalam bentuk kecenderungan ideologis. Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media
dipengaruhi oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap
suatu individu yang terlibat dalam suatu media massa. Keterikatan agama,
masyarakat, dan media menjadi suatu gejala yang probability, bisa benar dan
tidak. Relasi antara agama dan media sebagai entitas yang tak terpisahkan dalam
studi keagamaan merupakan kajian yang penting untuk dilakukan, dengan cara
melakukan analisa secara kritis atas unsur unsur di dalamnya, berupa realitas
objektif dan realitas subjektif.
Kata Kunci:
agama, media, ideologi, masyarakat
A.
Pendahuluan
Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang yang
dianut suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan kebenaran.[1]
Sebagai sebuah panduan kebenaran, agama berbicara tentang esensi Tuhan yang
metafisik. Akan tetapi sebagai pedoman kehidupan, agama pun menyangkut pedoman
tindakan normatif sebagai manusia dalam hidup dan kehidupannya di masyarakat.
Sebagai sebuah konsekuensi agama sebagai pedoman bagi
manusia, agama langsung atau tidak langsung juga mengkaji tentang manusia itu
sendiri, baik secara individu atau pun relasi antar individu (sosial).[2]
Karena itulah, untuk menerapkan agama secara utuh juga memerlukan pemahaman
kemanusiaan secara utuh, seperti antropologi, sosiologi, filsafat, politik,
etika, dan budaya. Tanpa pemahaman mengenai kemanusiaan secara utuh dengan
segala karakter dan kepentingan yang ada di dalamnya, ajaran kebenaran yang
normatif ini akan terjebak pada pemahaman parsial, kesalahfahaman, bahkan
konflik kepentingan dengan manusia lain yang berbeda pemahaman, karakter, dan
kepentingan.
Pada konteks ini, komunikasi media memegang peranan
penting sebagai transmisi ajaran kebenaran. Media kemudian menjadi sarana untuk
menyebarkan gagasan gagasan ketuhanan, nilai-nilai keagamaan, termasuk di
dalamnya menjadi saluran pemecahan masalah di antara konflik keagamaan. Bahkan,
melakukan dakwah keagamaan merupakan
salah satu misi suci yang sakral dan ideologis. Hal ini sesuai dengan paparan
Bryan S Turner (2014), teori teori sosiologi yang sudah berkembang sangat pesat
di ranah kajian agama, salah satu yang banyak dilakukan adalah mengenai agama
dan media sebagai sarana bagi terbukanya ruang publik untuk wacana keagamaan
yang demokratis.[3]
Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan esensi
keagamaan kepada masyarakat secara objektif dan empiris seringkali muncul dalam
bentuk kecenderungan. Realitas pristiwa keagamaan yang sesungguhnya bersifat
tunggal dan objektif kemudian terinformasikan kepada masyarakat dalam beberapa
versi yang berbeda. Bahkan, pada tahap berikutnya tidak sedikit muncul
kontroversi. Perbedaan penyampaian ajaran dan spirit keagamaan tidak semata
mata karena teknik jurnalistik yang baku, melainkan sebagai akibat dari cara
pandang terhadap fakta dan pemberi informasi yang berbeda.
Proses misi informasi yang mengaburkan realitas dan esensi
keagamaan ini dipengaruhi oleh paling tidak oleh 5 unsur komunikasi di
dalamnya. Kelima unsur komunikasi tersebut, menurut Harold D Laswell terdiri
dari siapa mengemukakan apa, melalui media apa, kepada siapa melaksanakan
hubungan, dan bagaimana efek dari komunikasi tersebut.[4]
Di antara kelima unsur tersebut, misinformasi yang paling sering terjadi dan
berpengaruh besar adalah media yang tidak berimbang. Sebagai sebuah kesalahan
teknik jurnalistik, kesalahfahaman ini bersifat teknis dan temporal. Akan
tetapi, dalam industri media sekarang ini, justeru pemberitaan tidak hanya
melibatkan teknis jurnalistik yang netral, melainkan lebih kepada sistem dan
cara pandang yang ideologis penuh kepentingan.
Dalam
era industrialisasi seperti sekarang ini, tidak sedikit media yang turut
menjadi media untuk mendulang kapital. Benar dan salah dalam realitas agama
dipotret menjadi baik dan buruk dalam perspektif media. Cara pandang seperti
ini di satu sisi mengaburkan realitas keagamaan yang objektif, di sisi lain
juga media memosisikan dirinya sebagai patron informasi dan masyarakat
diposisikan sebagai klien media, sesuai dengan segmentasi pasar. Dalam
perspektif komunikasi kritis,
media massa
hanya melayani kelas
sosial tertentu sehingga keberpihakkan ideologis menjadi
hal yang tidak mungkin dihindarkan.
Sebagai suatu sistem, segmentasi pembaca pun tidak hanya
diposisikan sebagai pangsa pasar secara teknis, melainkan sebagai objek
perluasan ideologis.[5]
Dalam banyak hal, eksistensi pasar pun merupakan perluasan dari ideologi media
yang bersangkutan. Keterlibatan ideologis antara media dengan komunikan menjadi
saluran informasi yang jauh lebih massif ketimbang instrumen informasi yang
bersifat teknis dan normatif.
Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media
dipengaruhi oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap
suatu individu yang terlibat dalam suatu media massa. Kecenderungan seperti ini
kemudian disebut ideologi media massa. Ideologi media diformulasikan secara
abstrak memalui berita; terdiri dari beberapa unsur seperti kata, kalimat,
frasa, dan struktur kebahasaan lainnya. Dengan ideologi yang berbeda, berita di
beberapa media tentang suatu peristiwa keagamaan akan ditulis dengan
kecenderungan yang berbeda sesuai dengan ideologi yang melingkupinya.
Keterikatan agama, masyarakat, dan media menjadi suatu
gejala yang probability.Ketiganya
bisa menjadi benar ketika unsur unsurnya objektif dalam melakukan transmisi
informasi dan gagasan keagamaan yang sakral dan universal. Akan tetapi di sisi
lain, media menjadi mesin informasi yang akan melakukan penyimpangan informasi
sesuai kecenderungan yang terkandung di dalamnya.
Relasi antara agama dan media sebagai entitas yang tak
terpisahkan dalam studi keagamaan merupakan kajian yang penting untuk
dilakukan, dengan cara melakukan analisa secara kritis atas unsur unsur di
dalamnya, berupa realitas objektif dan realitas subjektif. Pemisahaan di antara
keduanya akan memosisikan agama dan media secara utuh, sekaligus menjadi
kerangka acuan ber-dakwah melalui
cara cara baru dalam industri media yang sarat akan kepentingan kapital.
Dalam membuktikan relasi agama dan media mengenai fakta
objektif dan kecenderungan subjektif media, penulis melakukan penelitian
sampling terhadap 2 media yang berbeda terhadap issue agama yang serupa, yakni issue pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) dan issue aksi bela Islam 212.
Adapun media yang dijadikan sample adalah kompas dan republika karena kedua
pembaca berita ini berasal dari dua kalangan yang berbeda.
B.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode analitis konteksual dengan pendekatan ideologis. Istilah ideologi
banyak digunakan dalam kerangka ilmu sosial
untuk menggambarkan ide-ide tertentu yang diungkapkan dalam komunikasi.[6]
Pertentangan ideologi itu sendiri, dalam sejarah
filsafat bermula dari gerakan pembersihan teori dari kepentingan. Pemurnian ini diklaim
sebagai cara untuk menjaga keilmiahan suatu teori yang dirumuskan untuk menjawab persoalan-persoalan
manusia secara universal.[7]
Puncak gerakan pemurnian
pengetahuan dari kepentingan ini terjadi pada masa
positivisme yang dicetuskan Auguste Comte. Positivisme menilai pengetahuan yang
sahih adalah pengetahuan mengenai fakta obyektif atau terbebas dari kepentingan.
Penerapan metode ilmu alam pada kenyataan sosial mengandung masalah. Hal ini karena secara
filosofis kenyataan sosial
terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak
dapat diprediksi ataupun ditempatkan dalam bingkai hukum-hukum tetap sebagaimana pada fakta
alam. Dalam konteks inilah
teori kritis muncul.
Teori kritis yang dipelopori kelompok Mazhab Frankfurt
berpendapat bahwa teori atau pengetahuan memiliki keterkaitan dengan praxis kehidupan sosial manusia. Sebagai sebuah metodologi, teori kritis berada dalam hubungan dialektis antara filsafat dan ilmu
pengetahuan (sosiologi), antara pengetahuan yang bersifat transendent dan yang bersifat
empiris. Pendekatan ideologis dalam penelitian ini bermaksud untuk membongkar realiats
objektif fenomena keagamaan dengan frame pemberitaan pada media yang memiliki
kepentingan ideologis tertentu. selubung ideologis kelompok pluralis atau
positivist.
C.
Hasil
dan Pembahasan
Menurut Webster, kata ‘media’ memiliki
akar kata
yang sama dengan kata ‘medium’
yang artinya perantara, dan ‘medio’ yang artinya di tengah. Jadi, media adalah sarana yang menghubungkan, karena dia berperan sebagai perantara, yang berada
di tengah di antara pihak-pihak yang terhubung.
Dalam masyarakat modern,
kata ‘media’ cenderung merujuk kepada sarana
komunikasi publik, baik berbentuk
cetak ataupun elektronik (Mish 1989 :
737).
Jika diamati
lebih jauh, media dalam arti perantara,
sebenarnya adalah bagian penting dari
agama. Umat manusia tidak menerima agama langsung dari Tuhan, melainkan
melalui seorang perantara.
Dalam hal ini, tokoh- tokoh pembawa agama seperti
Sidharta Gautama, Konfusius, Lao Tzu, Musa, Yesus,
dan Muhammad pun merupakan media bagi
penyebaran aggama. Dalam teologi Islam, ada tokoh-tokoh pembawa agama Allah
yang
disebut rasul dan nabi.
Kata rasûl secara harfiah
berarti utusan,
atau orang yang diutus untuk menyampaikan pesan.
Rasûlullâh, berarti utusan
Allah.
Sementara Setelah media
elektronik berkembang
pesat, dari televisi hingga internet, para pengamat semakin
peka melihat pengaruhnya yang signifikan terhadap
agama. Kini media cetak dan
elektronik cenderung dikelola bersamaan
atau berkonvergensi.
Radio, koran dan internet menjadi terkait satu sama lain.
Dalam dunia
sudah sangat mudah diakses ini, media
dapat
dengan cepat menshare informasi melimpah ruah, dengan meminjam Marshall McLuhan
sperti desa buana (global village),
atau meminjam istilah
Yasraf Amir Piliang, sebagai dunia yang dilipat, yang terhimpun
dalam flash disc, tablet, ponsel pintar, lap top dan layar televisi.
Akan tetapi,
media sebagai penyampai wacana tertentu
kepada publik yang memiliki
watak ideologis dan kepentingan, teks berita tidak serta merta menyajikan sesuatu hal
yang normatif, melainkan mewakili kecenderungan ideologisnya.
Ideologi yang masuk ke dalam praktik kerja
wartawan atau pelaku media massa dilakukan melalui bahasa untuk menuliskan realitas. Dalam memaknai realitas, dua proses besar yang dilakukan media, yaitu memilih dan menulis fakta. Satu peristiwa
utuh terdiri dari beberapa
fakta yang sangat mungkin seorang
wartawan memiliki kecenderungan memilih fakta yang berbeda dengan wartawan lain. Karena fakta yang dipilih berbeda,
maka penulisannya dipastikan juga berbeda. Dengan demikian, satu peristiwa akan menampilkan
fakta-fakta berbeda yang seringkali
saling bertentangan. Peran ideologi wartawan dalam konteks pertentangan ini semakin terlihat
mendominasi proses produksi dan reproduksi
realitas.
Pada
saat agama sebagai spiritual bertemu
dengan
konstruk
agama
lain
terutama
dalam hubungan yang bersifat
konfliktual, agama mentransformasikan diri sebagai kekuatan
ideologis. Implikasinya agama menjadi anti kritik yang berpotensi
meningkatkan sensitivitas
nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam konteks
inilah agama rentan dijadikan sebagai pemicu atas situasi sosial politik yang secara substantif keduanya tidak memiliki hubungan apapun.
Perkembangan
ke arah ideologi ini secara ekonomi-politik memberikan peluang
kepada kelompok tertentu untuk memposisikan agama sebagai “amunisi” dan
komoditas yang bisa digunakan
sewaktu-waktu. Isu-isu sosial-politik yang dikemas dalam paket agama
mendapat perhatian masyarakat secara luas dan memberikan
efek ketegangan yang besar. Keterlibatan emosi dan perasaan
ideologis
yang sama diduga menjadi alasan
utama
masyarakat mengambil bagian dari perkembangan isu agama ini.[8]
Potensi keterlibatan
masyarakat yang besar ini bagi media massa sangat menarik. Hal ini karena
media massa menempatkan masyarakat sebagai
klien utama dan menjadi bagian strategis dari pengembangan kelembagaannya. Potensi bisnis yang mendasarkan pada kalkulasi kuantitas
pembaca ini menuntut
media massa mengembangkan
segmentasinya pada berbagai
lapisan dan kelompok masyarakat. Salah satu cara yang
lazim digunakan adalah mobilisasi melalui
pengembangan
opini
yang dikemas agar terlihat memiliki kedekatan (proximity) dengan kelompok sasaran. Kedekatan opini dengan pembaca ini secara ekonomi politik tidak
merepresentasikan ideologi keberpihakkan
media, tetapi lebih sebagai strategi
pengembangan pasar. Kepentingan ekonomi politik
inilah yang sesungguhnya menjadi
basis bagi media massa dalam praktik-praktik pemberitaan.
Agama bagi media massa adalah
isu strategis yang menjadi instrumen untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam konteks Indonesia,
pemahaman agama terbangun dalam beberapa
paham atau aliran yang secara umum terbagi
dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu fundamentalis, modernis, dan liberal.[9]
Polarisasi
pemahaman agama tersebut secara tidak langsung berdampak pada pemisahan masyarakat agama
dalam
sekat-sekat
ideologis yang
berbeda.
Kelompok-kelompok ideologis ini secara sosial dan politik
berinteraksi dalam paradigma berbeda dan
memiliki potensi konflik
yang tinggi.
Implikasi kelompok-kelompok ideologis ini membangun kekuatan komunitasnya melalui
pengembangan jaringan sosial politik yang
salah satunya dengan media massa.
Namun karena media massa dalam era industrialisasi saat ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, kolaborasi dengan kelompok ideologis
tidak berarti bahwa proses produksi dan reproduksi media
massa juga bersifat ideologis.
Produksi dan reproduksi wacana agama lebih dijadikan sebagai simbol identifikasi atau bentuk komitmen kolaboratif antara media massa dan kelompok
ideologis. Proses simbolisasi ini secara
ekonomis akan memberikan keuntungan kapital bagi media massa dengan keterjaminan pasar (pembaca) dari kelompok dan masyarakat yang memiliki keterkaitan
dengan ideologi tertentu.
Determinasi kepentingan kapital
dalam tubuh media massa
tak jarang memberikan “tontonan” tersendiri
bagi masyarakat terutama pada isu-isu
agama yang menjadi kontroversi. Misalnya
kasus Ahmadiyah yang setiap kemunculannya mendapat
apresiasi yang tinggi darai media baik
yang cenderung melakukan pengucilan atau
peminggiran maupun
yang melakukan pembelaan. Pengucilan atau peminggiran umunya
dilakukan dengan pilihan- pilihan bahasa yang bernada pengasaran
(disfemisme) seperti aliran sesat, penistaan
agama, kafir, dll. Sementara
media yang terlihat melakukan
pembelaan menggunakan bahasa-bahasa yang mengelaborasi tentang kebebasan
berkeyakinan dan hak-hak asasi manusia.
2 (dua) model produksi dan reproduksi wacana ini diarahkan
untuk memperoleh segementasi tertentu yang pada akhrinya
berujung pada mobilisasi pembaca atau pendukung sebagai klaim atas praktik bisnis yang dijalankan.
Untuk membuktikan adanya kecenderungan
ideologis antara agama dan media, penulis melakukan penelitian terhadap kasus
hukum yang berkaitan dengan agama dan kasus politik yang berkaitan dengan
agama. Adapun sample media yang dipilih adalah media online Kompas dan
Republika karena keduanya mempunyai pembaca yang berasal dari kalangan yang
berbeda. Teknik penelitian dilakukan dengan cara merilis 10 berita teratas atas
tagline pembubaran HTI dan aksi bela
Islam 212 karena kedua issue ini
dipandang memiliki animo yang besar di masyarakat selama November sampai Mei
2017. Adapun penilaian terhadap hubungan ideologis dilakukan melalui
klasifikasi tanggapan positif, netral, atau pun negatif.
Atas penelitian terhadap 2 media tersebut,
penulis memaparkan hasil sebagai berikut.
1.
Kecenderungan
Media dalam Memberitakan Pembubaran HTI (Issue Agama dan Hukum)
Nama Media
|
Jenis Berita
|
Respon
|
||
Positif
|
Netral
|
Negatif
|
||
Kompas
|
Mendagri
sebut pembubaran HTI tinggal tunggu waktu (4 Mei 2017
|
v
|
||
Perppu
pembubaran HTI bisa jadi bumerang untuk pemerintah (17 Mei 2017)
|
v
|
|||
Wiranto
sebut pembubaran HTI tak pakai perppu tak langgar hukum (17 Mei 2017)
|
v
|
|||
Ini
yang diserahkan Polri ke Kemenko Polhukam untuk bukti pembubaran HTI (18 Mei
2017)
|
v
|
|||
Jaksa
Agung sebut pembubaran HTI masuk tahap final (26 Mei 2017)
|
v
|
|||
Fadjroel
anggap pembubaran HTI tak cederai kebebasan berorganisasi (15 Mei 2017)
|
v
|
|||
Setya
Novanto tegaskan Golkar dukung pembubaran HTI (25 Mei 2017)
|
v
|
|||
Pimpinan
DPR pembubaran HTI lebih baik lewat pengadilan (18 Mei 2017)
|
v
|
|||
Percepat
pembubaran HTI, pemerintah pikirkan opsi terbitkan Perppu (16 Mei 2017)
|
v
|
|||
Wiranto
minta masyarakat tak ribut soal rencana pembubaran HTI (15 Mei 2017)
|
v
|
|||
Bobot
Kecenderungan berita
|
7
|
3
|
0
|
|
Republika
|
Mahfud
sebut 3 gerakan Islam perlu ditertibkan (24 Mei 2017)
|
v
|
||
PBNU
dan Muhamadiyah menanggapi isu (22 Mei 2017)
|
v
|
|||
Negara
khilafah (18 Mei 2017)
|
v
|
|||
Ketua
MUI: penyampaian aspirasi harus sesuai koridor hukum (16 Mei 2017)
|
v
|
|||
Upaya
pemerintah bubarkan HTI dilaporkan ke komnas HAM (13 Mei 2017)
|
V
|
|||
Kepala
BIN: HTI adalah gerakan politik
|
v
|
|||
Pembubaran
HTI tanpa peringatan, Jaksa Agung: ini kejadian luar biasa (13 Mei 2017)
|
v
|
|||
Wiranto
sebut gerakan HTI ancam kedaulatan negara (13 Mei 2017)
|
v
|
|||
Polri
akan ungkap bukti HTI serukan ideologi khilafah di pengadilan (13 Mei 2017)
|
v
|
|||
Wiranto
pernah hadiri acarar HTI
|
v
|
|||
Bobot
Kecenderungan
|
4
|
5
|
1
|
2.
Kecenderungan
Media dalam Memberitakan Aksi Bela Islam 212 (Issue agama dan Politik)
Nama Media
|
Jenis Berita
|
Respon
|
||
Positif
|
Netral
|
Negatif
|
||
Kompas
|
Polisi
duga ada penyimpangan dana yayasan penampung aksi 411 dan 212 (8 Februari
2017)
|
v
|
||
GNPF
kelola dana Rp. 3 Milyar di rekening yayasan untuk aksi bela Islam
(10Februari 2017)
|
v
|
|||
Bachtiar
Nasir jelaskan soal pengumpulan dana aksi bela Islam oleh yayasan KUS (10
Februari 2017)
|
v
|
|||
Selasa
besok, massa aksi 212 datangi DPR sejak pukul 08.00 wib (20 Februari 2017)
|
v
|
|||
Panglima
TNI anggap aksi umat Islam tak terkait makar, ini kata Polri (5 Mei 2017)
|
v
|
|||
Komisi
III DPR terima perwakilan massa aksi 212 (21 Februari 2017)
|
v
|
|||
Bagi
bagi makanan saat aksi 212 (21 Februari 2017)
|
v
|
|||
Aksi
411 dan 212 jadi sorotan di penghujung 2016 (1 Januari 2017)
|
v
|
|||
Kapolri:
Polri akan all out amankan pilkada DKI (17 April 2017)
|
v
|
|||
GNPF
MUI persilakan tindak aksi di luar kesepakatan
|
v
|
|||
Bobot
kecenderungan
|
1
|
6
|
3
|
|
Republika
|
PKS
yakin aksi bela Islam 212 akan berjalan damai (30 November 2016)
|
V
|
||
Kapolres
Cirebon kota, Muadzin bersuara merdu di aksi bela Islam 212 (4 Desember 2016)
|
v
|
|||
PKS
ajak masyarakat berpartisipasi dalam aksi bela Islam 212 (29 November 2016)
|
V
|
|||
Miliki
segera buku potret aksi bela Islam 212 (23 Februari 2017)
|
v
|
|||
Buku
dokumentasi aksi bela Islam 212 diluncurkan di IBF 2017 (4 Mei 2017)
|
V
|
|||
Aksi
bela Islam muncul karena pemerintah tidak tegas (1 Desember 2016)
|
V
|
|||
Framing
media barat terhadap aksi damai 212 (4
Desember 2016)
|
v
|
|||
Jumlah
peserta 212 mencapai 7,5 juta orang (4 Desember 2016)
|
v
|
|||
Potret
dari udara aksi damai 212 di lapangan monas (2 Desember 2017)
|
v
|
|||
Foto
lautan manusia di aksi damai 212 di lapangan monas (2 Desember 2016)
|
v
|
|||
Bobot score
|
8
|
2
|
0
|
Dari 2 media tersebut, meskipun keduanya
memberitakan fakta yang sama, akan tetapi memiliki kecenderungan yang berbeda.
a. Dalam
menulis pemberitaan pembubaran HTI oleh pemerintah, Kompas merespon 7 berita
positif (pro pembubaran HTI), 3 berita netral, dan 0 berita negatif, adapun
Republika merespon 4 berita positif, 5 berita netral, dan 1 berita negatif.
b. Dalam
menulis berita aksi bela Islam 212, kompas merespon 1 berita positif, 6 berita
netral, 3 berita negatif. Adapun Republika merespon 8 berita negatif, 2 berita
netral, dan 0 berita negatif
c. pembubaran HTI lebih banyak direspon positif
oleh Kompas dan lebih banyak di respon netral oleh Republika, dan sedikit
respon kedua dari kedua media tersebut. Hal ini dikarenakan pembubaran HTI oleh
pemerintah dinilai bertentangan dengan pancasila dan anti NKRI. Meskipun
perbedaan respon positif dan netral, minimnya respon negatif terhadap
pembubaran HTI merupakan kesetujuan kedua media tersbeut pada penegakan
konstitusi yang dilakukan pemerintah.
d. pada
issue agama aksi bela Islam 212, kedua media tersebut kontras berbeda. Kompas
lebih banyak netral meskipun negatif lebih banyak ketimbang respon positif,
sedangkan republika merespon lebih banyak positif dan tidak ada respon negatif
satu pun.
Dari
analisa di atas, penulis menilai media cenderung seragam dalam memberitakan issue hukum, dan sangat beragam pada issue politik. Perbedaan sudut pandang
tersebut dikarenakan adanya muatan ideologis yang dimiliki media tersbeut.
Republika memandang penegakkan hukum merupakan dominan lembaga penegak hukum,
sedangkan politik merupakan alat untuk menyuarakan aspirasi keagamaan.
Sebaliknya Kompas memandang penegakkan hukum perlu mendapat dukungan positif,
sedangkan politik merupakan aspirasi warga yang digunakan untuk menuntut
haknya.
Dari kedua narasi di atas, kompas memosisikan
agama sebagai objek, sedangkan republika sebagai subjek. Keduanya setuju pada
penegakkan konstitusi tapi berbeda pandangan dalam menyuarakan aspirasi politik
pembacanya. Perbedaan aspirasi tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor
kecenderungan agama dan kecenderungan politik media beserta pembaca setianya.
Dengan demikian, hubungan agama dan media
tidak netral, tapi memiliki kecenderungan sesuai dengan ideologi media dan
pangsa pasar pembaca, serta memaparkan fakta objektif dengan porsi dan framing
yang berbeda. Hubungan agama dan media bisa menjadi wilayah spiritualitas,
hukum, bahkan bisnis.
D.
Kesimpulan
Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang yang dianut
suatu masyarakat sebagai tuntunan hidup dan jalan kebenaran. Pada konteks ini,
komunikasi media memegang peranan penting sebagai transmisi ajaran kebenaran.
Akan tetapi, media sebagai transmisi realitas dan esensi keagamaan kepada
masyarakat secara objektif dan empiris seringkali muncul dalam bentuk
kecenderungan.
Dalam era industrialisasi seperti sekarang
ini, tidak sedikit media yang turut menjadi media untuk mendulang kapital. Sebagai suatu sistem, segmentasi pembaca pun tidak
hanya diposisikan sebagai pangsa pasar secara teknis, melainkan sebagai objek
perluasan ideologis. Paling tidak, perbedaan ideologis sebuah media dipengaruhi
oleh paradigma sebagai panduan berpikir, bertindak, dan bersikap suatu individu
yang terlibat dalam suatu media massa.
Ideologi
yang masuk ke dalam praktik kerja wartawan atau pelaku media massa dilakukan
melalui bahasa untuk menuliskan
realitas. Pada saat agama
sebagai
spiritual
bertemu
dengan
konstruk
agama
lain
terutama
dalam hubungan yang bersifat
konfliktual, agama mentransformasikan diri sebagai kekuatan
ideologis. Perkembangan ke arah
ideologi ini secara ekonomi-politik memberikan peluang
kepada kelompok tertentu untuk memposisikan agama sebagai “amunisi” dan
komoditas yang bisa digunakan
sewaktu-waktu.
Agama bagi media massa adalah
isu strategis yang menjadi instrumen untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam konteks Indonesia,
pemahaman agama terbangun dalam beberapa
paham atau aliran yang secara umum terbagi
dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu fundamentalis, modernis, dan liberal. 2 (dua)
model produksi dan reproduksi wacana ini diarahkan
untuk memperoleh segementasi tertentu yang pada akhrinya
berujung pada mobilisasi pembaca atau pendukung sebagai klaim atas praktik bisnis yang dijalankan.
E.
Referensi
Afif
Fusalhan. 2014. Kapiatlisme Media dan Komodifikasi Agama; Pesan Di Balik Cerita
Sineron Religi Pesantren dan Rock N Roll Season 3. Skripsi Jurusan Sosiologi
Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Agus
Ahmad Safei. 2016. “Development of Islamic Society Based on Majelis ta’lim: A
Study of the Shifting Role of Majlis Ta’lim West Java”. American Journal of
Applied Sciences, Vol 13 Issue 8.
Ahmad
Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal Komunika,
Volume 6 No 2
Ali
Iman. 2015. “Peranan Agama dalam Perubahan Sosial Masyarakat”.
Jurnal Hikmah, Volume II no 1
Arifin,
Anwar. 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali Press.
Effendy,
Bahtiar. 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Eriyanto.
2009.
Analisis Wacana, PengantarAnalisis Teks
Media.
Cet.
VII.
Yogyakarta:
LKiS.
Hardiman,
F.
Budi.
1990.
Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan
dan
Kepentingan.Yogyakarta:
Kanisius.
Jhonson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern.
Penerjemah MZ. Lawang. Jakarta: Gramedia.
Kahmad,
Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Rosda.
Laode Monto Bauto. 2014.
Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu tinjauan
Sosiologi Agama. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Volume 23 No 2.
Mas’oed, Mohtar.
2003.
Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moh
Dahlan. 2014.”Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”. Jurnal Studi Keislaman, Volume
14 No 1
Mujiburrahman.
2015. Agama, Media dan Imajinasi
Pandangan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer. Banjarmasin: Anatasari
Press.
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing. Bandung:
Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono
Soekanto. 2002. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cet
ke-34, Jakarta: Raja Grafindo.
Yance
Z Rumahuru. 2012. “Dialog Adat dan Agama Melampaui Dominasi dan Akomodasi”.
Jurnal Al Ulum, Volume 12 No 2
[1]
Laode Monto Bauto. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia; Suatu tinjauan Sosiologi Agama. Jurnal Pendidikan Ilmu
Sosial Volume 23 No 2, hlm. 4
[2] Mujiburrahman.
2015. Agama, Media dan Imajinasi
Pandangan Sufisme dan Ilmu Sosial Kontemporer. Banjarmasin: Anatasari
Press, hlm. 8
[3] Turner, Bryan S. 2014. ‘Religion and Contemporary Sociological Theories.’ Current
Sociology
Review. Vol. 62 No.6:
771-778. Watson, C.W. 2005.
‘Islamic Books and Their
Publishers: Notes on the Contemporary,
dalam Mujiburrahman, Ibid, hlm. 4
[4]
Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi, Sebuah
Pengantar Ringkas (Cet. I, Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 10-11
[5] Doyle Paul
Jhonson. 1988. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern.
Penerjemah MZ. Lawang, Jakarta: Gramedia, hlm. 237,
dalam Ahmad Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal
Komunika, Volume 6 No 2, hlm. 1
[6] Dalam
pengertian positif, ideologi diposisikan sebagai
pandangan dunia (world
view) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu
untuk membela dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka.
Sedang dalam penegrtian negatif,
ideologi dimaknai sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu kebutuhan untuk melakukan
penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai
realitas sosial. Alex Sobur, Analisis Teks Media,
Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisisi Semiotik,
dan Analisis Framing, (Bandung: Rosdakarya, 2009),
hlm. 61.
[7] F.
Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 21
[8]
Ekonomi politik merupakan
kajian yang menekaknkan pada saling keterkaitan antara fenomena
politik dan ekonomi, antara negara dan pasar, antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, ekonomi
didefinisikan sebagai sistem
produksi, distribusi dan
konsumsi kekayaan, sedang politik
diartikan sebagai sekumpulan lembaga
dan aturan yang mengatur berbagai hubungan
sosial dan ekonomi. Mohtar Mas’oed,
Ekonomi Politik
Internasional dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 3-4
[9] Bahtiar Effendy,
Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran
dan
Praktik
Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 194,
dalam Ahmad Muttaqin. 2012. “Agama dalam Represenasti Ideologi Media”. Junal
Komunika, Volume 6 No 2, hlm. 6
0 komentar:
Posting Komentar